20 Des 2020

Tertahan

Seringkali aku merasa mimbar jumpa kita terlalu sederhana.

Namun itu terbawa suasana, selalu begitu. 

Terkadang aku kehilanganmu karena tidak terbiasa dengan atmosfer ini.

Yah.. aku sadar, aku bukanlah siapapun di duniamu.

Lagi-lagi aku mengumandangkan lagi penghibur luka, sama seperti luka atas luka yang lainnya.

 

Entah, sempat berharap, apa mungkin keberadaanmu, denganmu semua akan lebih baik.

Pada akhir di tengahnya, bukan demikian nyatanya. 


Aku sadar sedang kehilanganmu atas keputusanku.

Pun aku tahu, aku tidak akan bisa mencapai setinggi itu.. sejujurnya aku.

Banyak hal ingin ku utarakan, banyak kalimat tertahan.

Karena sungguh, aku masih belum bisa membaca hal yang terdalam dari sisimu.

 

Pada hujan dan senja aku berdoa atas namamu.

Berdoa keberadaanku bukan batu pengganggu bagimu.

Berdoa ada mimbar jumpa dimana aku bisa menikmati senyum itu.

Berdoa aku yang fana ini, ada saatnya berguna untukmu.

 

Semoga kita selalu bisa menjaga hati yang berlebihan bereaksi.

I do love you, I do care. I don't wanna loose you.

:"

11 Des 2020

[FIKSI] Segudang Badai Bulan Sembilan

Malam semakin masuk ke jenjang suhu rendahnya, dan sebatang lagi isi dalam kantong pak rokokku habis. Setelah beberapa hisap yang cepat, dengan kasar aku buang puntung kosong terakhirku itu, dan masuk ke kamar. Sialan, kenapa selalu habis diwaktu yang tidak tepat.

Aku berlalu masuk sambil membuang wajah benci ke puntung rokok yang sudah tersudut diluar tempat sampah itu.

Menjelang tengah malam selalu menjadi saat yang paling aku benci, setidaknya lima tahun terakhirku di kota ini. Iya, sudah lima tahun sejak aku kembali ke kampung halaman setelah keputusanku berhenti kerja di ibukota. Rasanya cukup lima tahun sajalah aku pergi dan mencari pengalaman disana, back for good kalau kata teman-temanku yang ngobrolnya sok-sok pakai bahasa asing.

Lima tahun yang cukup lama, untuk mencoba segalanya di kampung halamanku ini dari awal. Aku sengaja mengundurkan diri dari kantorku di ibukota, kantor yang namanya saja sudah langsung dikomentari orang-orang dengan kata-kata model "ah iya.. disana tho dulu? Lho kok resign? Kan sayang.." dan segudang kalimat senada lain yang mana cuma bisa aku balas dengan memutar bola mata dan bergumam "yah.. coba aja kerja disana gantikan aku.." yang hanya bisa ada didalam kepala karena memang aku tipe orang yang anti-konfrontasi.

Sudah lima tahun ini aku mencoba peruntungan di kampung halaman dengan menjadi "tukang sayur". Iya, Bapak mengajariku bercocok tanam serta berdagang komoditas sebagai rekomendasi pekerjaanku di kampung halaman. Puji Tuhan, tabungan yang aku kumpulkan selama lima tahun bekerja di kota sedikit banyak membantu usahaku ini. Dan disinilah aku, di Pasar Ageng (pasar utama di kampung halaman) dengan bedak sayur yang sumber bahan jualannya adalah hasil dari kebun sendiri.

Iya... iya.. aku tahu, pasti kalian langsung bertanya-tanya, "dari orang kantoran banting setir ke pasar sayur yang kotor dan terkesan kotor.." atau pernyataan sejenis lain. Oooh jangan salah Ferguso, aku tidak hanya merambah toko offline kok. Bedak sayur kami juga ada di sejumlah kanal belanja online.. dan itu berjalan lebih sukses setelah kami memasang iklan di kanal-kanal belanja tesebut. Dikata sibuk sekali pekerjaanku saat ini? Iya bisa dibilang demikian. Tetapi ada beberapa orang kepercayaan yang bisa kami ajak kerja dengan usaha ini, yang mana setelah setahun mereka kami jadikan karyawan.

Eh jangan salah sangka, kami yang dimaksud ini adalah aku dan Bapak. Bapak sangat menantikan kepulanganku ke kampung halaman sejak tahun kedua aku bekerja di Ibukota. Kata beliau "kok ga pulang ae tho nduk..." dan akhirnya aku luluh ditahun kelimaku. Demi bakti dan juga kerinduanku melakukan segalanya dengan orang tua yang tinggal satu-satunya itu. Hmmm.

Dengan pengalaman pekerjaanku di kantor ibukota, pasar online maupun offline kami berjalan sangat menyenangkan. Bapak senang dibantu anaknya semata wayang ini, dan aku akhirnya seperti menemukan passion-ku dalam bekerja. Menyenangkan sekali mengatur hasil tani, mendistribusikannya ke pasar, menghitung stok dan laba, dan yang paling penting adalah aku bekerja dengan Bapak. Berbagi tugas. 

Iya, Bapak yang mengajariku segalanya dibidang berdagang ini... dan ilmu kuliah pertanianku tidak sia-sia karena aku bisa mengatur dan mendelegasikan petani-petani di kampung kami untuk ikut bekerja di ladang kami yang sempit.

Sistim yang aku dan Bapak pakai untuk bercocok tanam adalah hidroponik. Iyaaa aku tau, kalian pasti komentar "gak mahal? kan pipanya butuh banyak, air yang di sirkulasikan juga tidak cuma sepuluh lima puluh liter kan?!" dan senada demikian. Haha, bercocok tanam dirumah adalah impianku.. jadi, semenjak aku kerja di ibukotapun, tabungan pertamaku aku fokuskan untuk membangun "ladang impian" ini suatu hari nanti. Puji Tuhan itu sudah kesampaian. Aku yakin sekali Bapak bangga dengan pencapaian ini. Iya, seyakin itu lho aku.

Seperti berlayar di laut lepas, kadang tenang kadang badai. Begitu kira-kira kondisiku dan usaha kami saat ini. Pandemi korona bagaikan badai yang menghantam kami sangat keras. Para bapak ibu petani yang ikut bekerja bersama kami dengan sangat terpaksa kami kurangi jumlahnya.

Sedih? Jelas sedih lah. Pake tanya!

Pengurangan jumlah tenaga kerja di ladang hidroponik-ku dan Bapak yang luasnya kurang lebih satu hektar itu terpaksa harus kami lakukan, selain demi kesehatan bersama karena anjuran pemerintah harus mengurangi kerumunan dan jarak antar pegawai yang perlu dijaga, imbas ini adalah juga akibat dari ditutupnya Pasar Ageng berbulan-bulan lamanya sejak bulan lima. Kalau hanya mengandalkan penjualan online saja, karyawan yang ikut bersama kami untuk toko offline juga butuh diberi gaji dan makan kan?

Badai itu makin kencang menerpa semenjak bulan sembilan, Bapak mulai menunjukkan gejala terkena virus korona. Bapak demam, dan mengeluhkan pusing terus menerus lebih dari dua hari. Kalian tau kan bagaimana parnonya orang-orang soal virus ini? Posisi aku yang hanya berdua tinggal dengan Bapak dirumah, langsung bingung setengah mati. Harus kemana dulu nih? Lapor gugus tugas? Periksa langsung ke Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Umum di kota kami, atau diam dirumah aja?

Saat itu aku tidak tahu harus melakukan apa. Sampai akhirnya Bapak bilang "ayo nduk ke Rumah Sakit ajalah, Bapak biar diperiksa dokter.." langsung aku tancap gas mobil menuju ke UGD Rumah Sakit Umum kota kami. Protokol terbaru untuk Rumah Sakit Umum menyatakan bahwa keluarga pasien akan dihubungi via telepon atau whatsApp mengenai perkembangan kondisi pasien-nya, dan aku yang dianggap sehat diminta untuk pulang. Tapi ya gimana mau pulang? Bapak siapa yang menemani kalau butuh apa-apa? Aku pun tidak punya seorangpun di rumah sakit yang aku kenal untuk membantu mengupdate kondisi terkini Bapak.

Menjelang hari kedua, hasil ronsen dan tes swab Bapak keluar, Bapak harus masuk ruang isolasi di Rumah Sakit karena hasilnya positif dengan hasil tes yang tidak begitu bagus sehingga diminta untuk rawat inap, dan karenanya aku sebagai keluarga yang melakukan kontak erat dengan Bapak, diminta untuk tes swab juga. Sementara menunggu hasil tes swab ku, aku diminta untuk isolasi mandiri dirumah karena termasuk suspect yang butuh diobservasi apakah terpapar juga atau tidak. Aku yang hanya berdua di kota kampung halaman kami ini sungguh bingung harus bagaimana. Bapak jelas-jelas butuh ditemani seseorang kan? Tidak mungkin Bapak bisa sendiri urus ini itu padahal diminta rawat inap.

Mbak Irma tetangga sebelah rumah kami-lah yang akhirnya menjadi "keluarga" kami di masa-masa berat ini. Mbak Irma yang pulang pergi rumah sakit - rumah untuk mengontrol kondisi Bapak. Mengirimiku bahan makanan dan masakan, melapor ke Gugus Tugas setempat bahwa aku dan Bapak adalah suspect, serta memastikan aku hidup. Bapak juga. Huhu.

Dua minggu berlalu dan Bapak sudah mulai lepas selang oksigen, beruntungnya kata dokter penanggungjawab Bapak selama rawat inap menyampaikan padaku via video call whatsApp kalau Bapak tidak ada komorbid atau penyakit penyerta, sehingga kondisinya bisa sembuh lebih cepat. Aku yang hasil swabnya negatif semenjak awal ini, tetap diminta isolasi mandiri hingga akhirnya hari ke dua puluh aku diminta swab tes di rumah sakit umum, sekalian menjemput Bapak yang sudah dianggap negatif korona untuk pulang. 

Disinilah aku sekarang, didepan rumah menjelang tengah malam, ditengah bulan sebelas tahun ini, memandang ke arah ladang hidroponik milik kami yang gelap, yang terbengkalai sebulan lamanya semenjak Bapak masuk rumah sakit dan aku diminta isolasi mandiri. Sudah sebulan semenjak hasil tes swab kami berdua negatif, dan sungguh masih sulit untuk aku dan Bapak untuk kembali lagi beraktifitas seperti biasa.

Kalian pasti tahu soal stigma masyarakat soal virus ini kan? Iya benar, kami dianggap memiliki penyakit menular yang bisa kami bagi-bagikan ke siapapun. Hal tersebut merupakan badai juga bagiku, dan bagi Bapak apalagi.. karena beliaulah yang dirawat dirumah sakit selama kurang lebih sebulan selama bulan sembilan kemarin. Bapak pasti sangat terpukul karena kondisi ini. Dan aku berpikir panjang juga, bagaimana dengan pejuang seperti kami di kota lain ya? Apakah seperti kami juga?

Sekali lagi aku harus mulai dari awal ditahun kelimaku pulang.

Malam ini, menjelang akhir bulan sebelas di tahun ini. Kuputuskan memacu motor matic Bapak membelah malam menuju dini hari ke minimarket diujung gang, membeli satu pak rokok lagi. Semoga batang demi batangnya membantuku berpikir.

Lebih dari apapun.. Semoga Bapak selalu sehat. Amin.