6 Apr 2016

Jalan Sebentar ke Pantai Licin, Ampelgading - Malang


Hahaha rasanya lama banget ya nggak posting tentang jalan-jalan. 

Menyadari bahwa hidup emang makin nggak santai, dan bingung deh gimana bikin santai, sehingga ketika ada kesempatan untuk nyantai.. saya mencoba untuk bener-bener bisa menikmati hidup tanpa gadget apapun (yaa meski ujung-ujungnya kalau nggak bawa Nikolas, saya masih kudu mengandalkan handphone).

Oke perjalanan kali ini saya dan bolang partner saya, Bu (dosen dia sekarang, di jurusan S1 tercinta, makanya kudu pakai kalimat sebutan/panggilan depan yang formal~iciyeee) Wulan dengan sepenuh hati mencoba menaklukkan kerasnya medan menuju... Pantai Licin!

Here we go, jadi ceritanya kami janjian jam setengah 6 pagi. Namanya juga ceritanya, sehingga kenyataannya jam 6 menuju setengah 7 kami baru bisa bertemu dan melaksanakan perjalanan. Menujulah kami ke arah selatan Malang, via Turen-Dampit-Ampelgading.
Setelah menghabiskan sarapan kami di warung Rini di Dampit (warung ini highly recomended buat yang melaksanakan perjalanan dari Malang menuju Lumajang via selatan) kami memutuskan untuk menuju pantai tersebut berbekal GPS, karena beberapa petunjuk kami pikir nggak menunjukkan penunjuk arah yang bener-bener jelas. Semua gambar tentang Pantai Licin pun berbeda 1 dengan yang lain.. ya gimana kami yang cuma cewe-cewe berdua ini nggak bingung?

Akhirnya dengan set up "Lebakharjo, Ampelgading, Malang, Jawa Timur, Indonesia" sebagai point destination GPS kami berangkatlah. 
Jadi jalur berangkatnya kami menggunakan jalur ekstrim yang sangat nggak kami sarankan untuk dilalui, yakni lewat jalur masuk menuju Pantai Banyu Anjlok yang ditunjukkan oleh palang jalan (kalau nggak salah palang jalan provider IN**S*T).
Tapi saat udah mencapai di pertigaan menuju Pujiharjo, kita belok ke kiri ke Lebakharjo. Ketika tanya penduduk sekitar, mereka menjawab Pantai Licin berada di dusun Nglicin yang memang masuk area Lebakharjo.
Ketika bertanya ke masyarakat setempat setelah kami berbelok di pertigaan menuju Lebakharjo dari Pujiharjo tersebut, kami bahkan sempat disangsikan bisa atau mampu melalui jalan tersebut atau tidak bakal sampai menuju ke Nglicin. Soalnya jalannya bukan jalan normal. Jalannya menuruni bukit, lebar jalan 50-60 sentimeter, dan memang jalur memotong ala masyarakat setempat yang sudah sering menggunakan. 
Alias, pengguna jalan baru SANGAT TIDAK disarankan melaluinya.

Karena nyali Bu Wulan yang membakar semangat saya juga, akhirnya kami mencoba melalui jalan tersebut. Tapi seperti yang tidak pernah saya duga, jalannya menciutkan nyali saya. Akhirnya belum ada 100 meter turun kebawah, saya protes untuk tidak menaiki motor matic beliau. Beruntung ada mas-mas penduduk setempat yang akan mencari durian di lembah, sehingga kami berdua dibantu oleh kedua orang tersebut melalui jalan ekstrim itu. Sayangnya karena alat kamera terbatas, ditambah dengan adrenalin saya yang terproduksi begitu banyak, saya nggak bisa mengabadikan ekstrimnya jalur tersebut.
Sempat diceritakan mas-mas yang bantu kami, bahwa jalur tersebut disebut Jalur Suharto. Entah apa maknanya, kami belum sempat mencari tahu.
Berbekal GPS ala manusia alias Global Pitakoning System, kami mencapai dusun Nglicin setelah melalui jalan Malang Kota - Dusun Nglicin selama 4.5 jam kurang lebih. Sebagai info tambahan, Nglicin yang dimaksud disini berbatasan dengan Kecamatan Tempursari Kabupaten Lumajang, yang nantinya kita memutuskan untuk kembali ke Malang melalui jalan antar wilayah di kecamatan tersebut. Menuju ke dusun Nglicin, kami melalui beberapa kali jembatan yang menghubungkan antar desa penambang pasir. Dan ini adalah jembatan yang paling wow karena sudah terbentuk dari beton.
Bu Wulan dan Jembatan setelah  lepas dari Jalur Suharto

Berusaha melanjutkan perjalanan, kami masuk kedalam area Kecamatan Tempursari. Berkali-kali tanya ke orang sana-sini, karena sepertinya akses menuju Pantai Licin masih sangat terbatas penunjuk jalannya. Hingga kami akhirnya sampai di Desa Tegalrejo, lokasi dimana jembatan kayu menuju dusun Nglicin berada.

Bu Wulan dan Si Ganteng sedang mencoba menyeberang menuju Dusun Licin

Setelah tanya sana-sini, akhirnya kami sampai di Dusun Licin dengan jalur jalan semi horor yang seperti gambar dibawah. Beruntungnya kami, karena kami terus menerus disuguhi keindahan Pantai Selatan Malang (dan Lumajang) ini. Sehingga tidak ada rasa menyesal dari kami melalui perjalanan panjang.

Jalan di Dusun Licin
Panorama sepanjang perjalanan di Dusun Licin

Setelah melalui jalan tersebut, kami akhirnya sampai di Pantai Licin dengan penuh perjuangan. Diluar dugaan, pantai yang kami kunjungi saat weekend beberapa minggu yang lalu ini lumayan ramai, membuat kami berpikir betapa jawaranya orang-orang ini bisa mencapai sini dengan bahagia. Bahkan pantai ini dipergunakan untuk kemping beberapa grup pemuda, piknik keluarga-keluarga kecil.. yang mana semuanya menggunakan kendaraan roda dua untuk menuju kesini. Memang tidak mungkin dijangkau dengan roda empat sepertinya melihat jalur yang berbahaya seperti itu.

Welcome Greeting
Mengetahui perjalanan kembali akan menjadi sangat panjang, kami memutuskan untuk tidak berlama-lama di Pantai Licin. Sebentar saja menikmati indah dan tenangnya pantai ini, pasir hitam semi putih yang terbentuk dari material vulkanik campur koral, dan karang-karang yang menjulang kokoh disana. Terimakasih telah menerima kami disana!

The Beauty of Licin Beach

Perjalanan pulang kami tempuh dengan jarak yang lebih jauh namun dengan waktu yang relatif cepat. Kami lewat jalan besar Kecamatan Tempursari. Meski jalur utama tersebut masih sering kami jumpai rusaknya, namun ujalur ini relatif lebih aman dilalui daripada menggunakan jalur masuk via jalur Pantai Banyu Anjlok.
Secara administratif mungkin Pantai Licin masuk ke dalam Kecamatan Ampelgading, namun jalur menujunya kami rasa jauh lebih aman dan baik jika melalui jalur umum Tempursari - Lumajang.

So, kalian yang suka ekstrem trip? Monggo rasakan sensasi menuju pantai indah diujung selatan Malang ini.
Semoga masih ada kesempatan buat saya menulis cerita jalan-jalan lagi ya!

3 Apr 2016

Mencari Dia Hanya Untuk Membahagiakannya

Yogyakarta - Pastabanget Signature's Candle - 2016
Masih berkutat dengan pertanyaan dikepala yang tidak bisa kujawab..
Sambil memandangi wajahnya, aku meneteskan air mataku.
Mencari yang belum inginnya kucari..
Aku meminta pada Dia Yang Maha Segala untuk tetap menjagaku,
tapi dari apa?
Aku takut aku tak tahu itu apa.

Ya, aku terkadang merindukannya.
Merindukan sosok itu, sosok kepercayaan hati dan kepalaku.
Meski singgasananya sedang kosong, anehnya aku tak sekalipun ingin membiarkannya terisi.

Iya, aku menunggu hingga perasaan sakit ini pergi.
Menangis dan terus meneteskan air mata.
Kodratku untuk hak yang bisa kuutarakan hanya mampu sampai sebatas ini.

Sepanjang waktu aku hanya bisa mendoakan kebahagiaannya.
Melihatnya dari jauh tanpa bisa aku meminta untuk mendekatinya..
Bahkan ataupun meminta dia menjadi lebih dekat dari biasanya.
Aku membiarkan perasaan ini kujejalkan dengan sesaknya dalam liang dasar hatiku.
Memaksanya untuk mati.
Yang sebenarnya aku berjuang sempat....untuk membiarkannya tetap hidup.

Hanya sampai sebatas membahagiakannya, juga membahagiakan hatiku,
hanya untuk agar membiarkannya tidak bertanya..
Aku hanya mampu menyembuhkan luka luar..
sementara luka separah patah dalam hati dan kepala ini, aku tak tahu harus membuatnya menjadi bagaimana.

Apa yang harus aku tanyakan pada dunia untuk membuatku benar,
sementara aku tak tahu apa yang membuatku hancur...?

Pilu. Bodoh. Salah.

Itu saja yang bisa kupahami pada diriku. Itu saja yang bisa kupahami tentang lukaku.
Selebihnya? Darah berceer dimana-mana, tanpa kurasa sakitnya kenapa.

Betapa susahnya mengingkari kepala bahwa ini semua baik-baik saja.
Menyakiti diri sendiri seringkali aku mencoba menyimpulkan jawabannya.
Membakar diri sendiri agar lebih menjadi berarti, seperti lilin yang berusaha agar tetap bercahaya.
Meski akhirnya tujuan dia ada agar mati.

Yang akhirnya pilihan itu hanyalah, menunggu hingga lukanya kering.
Lalu aku melangkah lagi.

Lingkaran untuk rindu lagi, cinta lagi, luka lagi.
Kebodohan untuk lubang-lubang ranjau yang berulang.

Semua ujung samudera usia yang aku lalui, hanya untuk bertemu dengannya.
Untuk mencintainya tanpa ada lubang luka.
Segala hutan rimba kesenangan dan masa muda aku libas habis, hanya untuk melihat sosoknya.


Iya, aku ingin selalu membahagiakannya.
Selalu-ingin-membuat-dia-merasa-semua-baik-saja.

Hanya agar membuat dia tidak bertanya,
"kamu kenapa?"




Karena aku pun tidak tahu apa jawabannya.