Halo! Lama banget aku nggak posting blog ya.
Banyak banget ide mau nulis, tapi bingung mau yang mana dulu yang ingin kutulis. Jadilah setelah undian postingan (
uopooo ikii undian postingan jare --") aku tulis sepenggal narasi yang terinspirasi dari sebuah postingan blog yang aku follow milik mbak dokter muda yang cantik,
Maretha yakni
Luka Tanpa Akhiran.
Jadi aku tuh kepikiran buat membikin satu narasi yang njelasin kelanjutan dari cerita pendek yang bu Dokter bikin..
Nah! Sampe kebawa mimpi segala nih kepengen bikin narasinya.. jadi kalau nggak beneran ditulis bisa keluar jadi angin hahaha :D
Judul postingan blogku ini kupilih "Semua Terjadi Karena Alasan" karena aku membuat narasi ini sambil mendengarkan lagu Band Jikustik berjudul sama. Inspirasinya keluar banget kalo ngedengerin lagu yang sesuai.
Anyway.. semoga Bu Dokter ga marah aku kembangkan ide cerita yang dia punya menjadi kaya gini yah. Semogaaaa... He he he
Oke here we go.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Langit senja mulai berubah merah, berubah seperti seharusnya dia. Kulihati perubahan
langit itu lekat-lekat, menengadah mengagumi indahnya kejadian sore. Menikmati perubahan
warnanya, dari terang hingga gelap. Hal yang biasa kulakukan sejak aku kecil. Kebiasaan
yang membawa banyak kenangan, manis sekaligus begitu pahit.
Meski langit telah gelap, kepalaku tetap menengadah melihat keatas ambil
kembali mengingat masa lalu, masa kecilku, dan sadar bahwa ini langit yang sama
meskipun berada pada koordinat yang sedikit berbeda dari yang dulu. Langit
disini lebih berwarna kurasa. Lebih indah disini, karena lebih lama aku bisa
menikmati warna merahnya berubah menjadi jingga. Yang sebenarnya bahwa menikmati
perubahan warna sama saja dengan membuka perban lukaku yang tak akan kutahu
kapan akan sembuh.
Sudah tiga atau lima jalur bis melewati perhentianku berdiri, tak satu bis
pun kupilih. Hanya kulihati saja dia berhenti, saling pandang dengan sang supir
yang tentunya mengira aku akan naik, lima menit berlalu dan pergi.
Terminal Bus Sentral Konakadai memang sebuah persimpangan sempurna untuk
siapapun yang ingin melakukan perjalanan jauh. Tepat didepan pemberhentian bis
sentral, kita bisa langsung berpindah moda ke beberapa line subway yang
tersedia. Ingin kemana, tinggal pilih saja. Sayangnya aku sedang ingin disini. Warna
langit senja diantara tingginya gedung-gedung tengah kota kecil ini lebih
menarik perhatianku.
Kebiasaan baru yang kupunya disini adalah menikmati senja ditengah keramaian
dan padatnya orang-orang pulang kerja. Dan taman kota di simpang terminal bus sentral
Konakadai merupakan tempat yang cocok untuk melakukan hal yang aku senangi. Kebetulan
sekali kelas kuliahku berakhir menjelang sore, sehingga saat turun dari line
subway Konakadai aku langsung bisa menuju sudut taman kota persimpangan
favoritku.
Aku lukis kembali senja yang kupandangi dengan pensil warnaku, Berbeda
dengan yang lalu, pemandangan lukisanku kini berubah. Gedung-gedung tinggi
penghiasnya, tak jarang juga burung gagak beterbangan, entah berpindah sarang
atau mencari pasangannya.
Inilah halaman kehidupan baruku, halaman baru yang berusaha sekuat tenaga menginjak
luka dan menutupi dengan lembaran berbeda. Namun meski dia telah tertutup,
tetap saja warna-warna senja membuatku ingat akan lukaku. Haha, bodoh? Biar saja.
Aku seorang laki-laki, dan seharusnya aku bisa segera bangkit kembali
setelah apa yang aku alami. Kenyataannya tidak, aku tetap mengingat luka dan
kebodohanku. Terkadang menertawakannya, lalu tiba-tiba sesaat tenggelam
bersedih.
Aku seorang laki-laki, tapi sangat berat untuk lupa dan menyembuhkan luka
yang aku punya. Mungkin memang tidak untuk dilupakan, tapi mungkin memang untuk
dibawa pergi kemanapun aku ingin pergi. Kenyataannya memang begitu, aku membawa
luka ini hingga jauh keseberang sekarang. Mulai berharap luka ini bisa sembuh
dengan sendirinya disini. Aku memilih untuk tidak melupakan lukaku. Luka yang
semakin diingat semakin terasa menganga ini, pada akhirnya.
Aku tidak jarang melarang pikiranku untuk ingat, tapi kenangan itu tidak
sengaja merasuk hadir dan menghancurkan lagi hatiku. Berusaha untuk mengalihkan
pikiran, aku malah membayangkan berhadapan dengan sang penyayat hati. Sekali menanyakan
kabarnya dan takdir macam apa yang mungkin membuat kami bertemu lagi. Tidak kupungkiri
memang aku masih mempunyai rasa rindu yang dalam pada dia. Meski tidak lagi
diperbolehkan. Maka cepat-cepat kuselesaikan gambarku, dan keramaian persimpangan
ini semakin membuatku kehilangan konsentrasi.
Orang-orang dengan kesibukannya masing-masing berlalu lalang tak henti sepanjang
sore sedari tadi aku duduk disini. Ramai sekali halte bus sore ini. Mereka yang
pulang dari tempat kerja dan segera ingin berjumpa dengan hangatnya rumah dan
keluarga saling mempercepat langkah, sama sekali tidak melihat satu sama lain. Tidak
peduli satu sama lain.
Hal yang sudah biasa kulihat disini, tepatnya sejak setahun lalu aku disini.
Tak lagi memperhatikan bus yang terus menerus datang dan pergi membawa
penumpangnya ke berbagai jurusan, aku memperhatikan satu per satu orang yang
lewat didepanku. Setelah sedikit lengang, kuarahkan kaki menuju mesin fending
beberapa langkah dari tempatku duduk. Musim panas disini memang menelan uang dari
saku setiap orang untuk setidaknya membeli minum dijalan. Suhu yang tidak acuh
pada kulit manusia membakar empat belas jam lamanya dalam sehari.
Sadar bahwa langit sudah berubah gelap, aku putuskan berjalan pulang menuju dormitory
yang tempatnya tidak begitu jauh dari terminal bus sentral. Lima belas menit
saja berjalan kaki.
Disini orang-orang terbiasa pergi atau pulang menuju rumah, sekolah, atau
tempat kerja dengan berjalan. Tak berbeda denganku, jalan kaki sudah merupakan
kebiasaan sekarang. Aku merasa sangat menikmati saat aku berjalan kaki karena banyak
ide dan hal-hal positif yang muncul. Perlahan namun pasti, aku yakin luka ini
akan menjadi pijakan langkahku dalam kehidupanku kini.
Sakit pasti, tapi
kupaksakan lega melihat orang yang begitu kucintai sepanjang hidupku sudah berbahagia.