23 Sep 2013

Club of 25

Whoaa..
Nggak terasa banget umurku udah melalui angka seperti pada judul.
Terimakasih Allah sudah memberikan kesempatan selama ini untuk menikmati segala anugerahMu.

Menyenangkan rasanya bisa bersama semua orang yang menyayangi dan kusayangi selama ini.
Sehat, bisa berjalan, bisa tertawa, bisa tersenyum dan bahagia.

Terimakasih untuk setahun di umur 24 yang begitu indah. Terimakasih untuk memberiku hal-hal yang diluar bayangan di umur 24 kemarin.

Terimakasih untuk kesempatan jalan-jalan 'on duty'-nya, dan menikmati udara Kota Cinta Jogjakarta Ya Allah. Terimakasih telah membawaku merasakan kembali udara kota ini. Kota yang beberapa tahun lalu aku batin-batinkan untuk kembali. Dan waw, Engkau memberiku kesempatan ini dengan cuma-cuma.

Seperti mimpi, mimpi yang aku jalani di dunia nyata.
AnugerahMu yang mana lagi yang akan aku dustakan? =)

Senang sekali, ada sedikit sedih, tapi senang.. Banyak senangnya.

Nampaknya make a wish sudah tak pantas lagi kulakukan, sudah tinggi derajat angka umur ini.
Sudah banyaaaak sekali wish-ku yang Engkau kabulkan.

last year cake from my beloved friends, sweet isn't?

Cuma minta jagalah mama hingga aku mampu mewujudkan impian tertinggiku untuk beliau.
Cause I love her more than anything in this world.

And last,
Happy Birthday to Me :D

18 Sep 2013

Semua Terjadi Karena Alasan

Halo! Lama banget aku nggak posting blog ya.

Banyak banget ide mau nulis, tapi bingung mau yang mana dulu yang ingin kutulis. Jadilah setelah undian postingan (uopooo ikii undian postingan jare --") aku tulis sepenggal narasi yang terinspirasi dari sebuah postingan blog yang aku follow milik mbak dokter muda yang cantik, Maretha yakni Luka Tanpa Akhiran.

Jadi aku tuh kepikiran buat membikin satu narasi yang njelasin kelanjutan dari cerita pendek yang bu Dokter bikin..

Nah! Sampe kebawa mimpi segala nih kepengen bikin narasinya.. jadi kalau nggak beneran ditulis bisa keluar jadi angin hahaha :D

Judul postingan blogku ini kupilih "Semua Terjadi Karena Alasan" karena aku membuat narasi ini sambil mendengarkan lagu Band Jikustik berjudul sama. Inspirasinya keluar banget kalo ngedengerin lagu yang sesuai.

Anyway.. semoga Bu Dokter ga marah aku kembangkan ide cerita yang dia punya menjadi kaya gini yah. Semogaaaa... He he he

Oke here we go.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



Langit senja mulai berubah merah, berubah seperti seharusnya dia. Kulihati perubahan langit itu lekat-lekat, menengadah mengagumi indahnya kejadian sore. Menikmati perubahan warnanya, dari terang hingga gelap. Hal yang biasa kulakukan sejak aku kecil. Kebiasaan yang membawa banyak kenangan, manis sekaligus begitu pahit.

Meski langit telah gelap, kepalaku tetap menengadah melihat keatas ambil kembali mengingat masa lalu, masa kecilku, dan sadar bahwa ini langit yang sama meskipun berada pada koordinat yang sedikit berbeda dari yang dulu. Langit disini lebih berwarna kurasa. Lebih indah disini, karena lebih lama aku bisa menikmati warna merahnya berubah menjadi jingga. Yang sebenarnya bahwa menikmati perubahan warna sama saja dengan membuka perban lukaku yang tak akan kutahu kapan akan sembuh.

Sudah tiga atau lima jalur bis melewati perhentianku berdiri, tak satu bis pun kupilih. Hanya kulihati saja dia berhenti, saling pandang dengan sang supir yang tentunya mengira aku akan naik, lima menit berlalu dan pergi.

Terminal Bus Sentral Konakadai memang sebuah persimpangan sempurna untuk siapapun yang ingin melakukan perjalanan jauh. Tepat didepan pemberhentian bis sentral, kita bisa langsung berpindah moda ke beberapa line subway yang tersedia. Ingin kemana, tinggal pilih saja. Sayangnya aku sedang ingin disini. Warna langit senja diantara tingginya gedung-gedung tengah kota kecil ini lebih menarik perhatianku.

Kebiasaan baru yang kupunya disini adalah menikmati senja ditengah keramaian dan padatnya orang-orang pulang kerja. Dan taman kota di simpang terminal bus sentral Konakadai merupakan tempat yang cocok untuk melakukan hal yang aku senangi. Kebetulan sekali kelas kuliahku berakhir menjelang sore, sehingga saat turun dari line subway Konakadai aku langsung bisa menuju sudut taman kota persimpangan favoritku.

Aku lukis kembali senja yang kupandangi dengan pensil warnaku, Berbeda dengan yang lalu, pemandangan lukisanku kini berubah. Gedung-gedung tinggi penghiasnya, tak jarang juga burung gagak beterbangan, entah berpindah sarang atau mencari pasangannya.

Inilah halaman kehidupan baruku, halaman baru yang berusaha sekuat tenaga menginjak luka dan menutupi dengan lembaran berbeda. Namun meski dia telah tertutup, tetap saja warna-warna senja membuatku ingat akan lukaku. Haha, bodoh? Biar saja.

Aku seorang laki-laki, dan seharusnya aku bisa segera bangkit kembali setelah apa yang aku alami. Kenyataannya tidak, aku tetap mengingat luka dan kebodohanku. Terkadang menertawakannya, lalu tiba-tiba sesaat tenggelam bersedih.

Aku seorang laki-laki, tapi sangat berat untuk lupa dan menyembuhkan luka yang aku punya. Mungkin memang tidak untuk dilupakan, tapi mungkin memang untuk dibawa pergi kemanapun aku ingin pergi. Kenyataannya memang begitu, aku membawa luka ini hingga jauh keseberang sekarang. Mulai berharap luka ini bisa sembuh dengan sendirinya disini. Aku memilih untuk tidak melupakan lukaku. Luka yang semakin diingat semakin terasa menganga ini, pada akhirnya.

Aku tidak jarang melarang pikiranku untuk ingat, tapi kenangan itu tidak sengaja merasuk hadir dan menghancurkan lagi hatiku. Berusaha untuk mengalihkan pikiran, aku malah membayangkan berhadapan dengan sang penyayat hati. Sekali menanyakan kabarnya dan takdir macam apa yang mungkin membuat kami bertemu lagi. Tidak kupungkiri memang aku masih mempunyai rasa rindu yang dalam pada dia. Meski tidak lagi diperbolehkan. Maka cepat-cepat kuselesaikan gambarku, dan keramaian persimpangan ini semakin membuatku kehilangan konsentrasi.

Orang-orang dengan kesibukannya masing-masing berlalu lalang tak henti sepanjang sore sedari tadi aku duduk disini. Ramai sekali halte bus sore ini. Mereka yang pulang dari tempat kerja dan segera ingin berjumpa dengan hangatnya rumah dan keluarga saling mempercepat langkah, sama sekali tidak melihat satu sama lain. Tidak peduli satu sama lain.
Hal yang sudah biasa kulihat disini, tepatnya sejak setahun lalu aku disini.

Tak lagi memperhatikan bus yang terus menerus datang dan pergi membawa penumpangnya ke berbagai jurusan, aku memperhatikan satu per satu orang yang lewat didepanku. Setelah sedikit lengang, kuarahkan kaki menuju mesin fending beberapa langkah dari tempatku duduk. Musim panas disini memang menelan uang dari saku setiap orang untuk setidaknya membeli minum dijalan. Suhu yang tidak acuh pada kulit manusia membakar empat belas jam lamanya dalam sehari.

Sadar bahwa langit sudah berubah gelap, aku putuskan berjalan pulang menuju dormitory yang tempatnya tidak begitu jauh dari terminal bus sentral. Lima belas menit saja berjalan kaki.

Disini orang-orang terbiasa pergi atau pulang menuju rumah, sekolah, atau tempat kerja dengan berjalan. Tak berbeda denganku, jalan kaki sudah merupakan kebiasaan sekarang. Aku merasa sangat menikmati saat aku berjalan kaki karena banyak ide dan hal-hal positif yang muncul. Perlahan namun pasti, aku yakin luka ini akan menjadi pijakan langkahku dalam kehidupanku kini.

Sakit pasti, tapi kupaksakan lega melihat orang yang begitu kucintai sepanjang hidupku sudah berbahagia.