31 Okt 2016

Dear Autumn, Goodbye

Setting tempat: pilih aja. satu kota bermusim empat. jalanan ramai menuju lengang.
Waktu : menjelang senja, sepulang kerja.

Berjalan di udara autumn mengingatkanku ada satu masa, bertanya-tanya, akan jadi setua apa aku?

Menjadi seonggok makhluk yang dikaruniai nyawa membuat manusia berutang budi pada Penciptanya. Mungkin kadang hutang budi itu yang membuat mereka terlalu tamak, atau sebaliknya, rendah diri hingga ingin mengakhiri hidupnya.

Impian, nyata, dan doa.
Berkutat dari situ saja harapanku.

Kusimpan dua telapak tangan didalam coat furing tebal yang hangatnya sudah mulai tipis dan ternyata suhu udara jalanan sudah mulai menggigilkanku petang ini. Kuhirup udara dalam-dalam, karena aku tahu mungkin tahun depan sudah berada ditempat lain, yang....entahlah, mungkin tidak memiliki musim autumn yang hampir habis seperti saat ini.

Satu dari empat bagian usiaku, belajar. Bahwa mendongak keatas tidak akan lebih baik daripada melihat kebawah. Seorang senior yang aku kagumi berkata, emmm.. lihat kedepan.

Picture Source here

Maka diakhir musim yang manis untuk kuingat, aku kembali melangkah. Berharap musim dingin tak cepat datang, dan sedikit rindu tertahan untuk segera pulang menuju negeri dua musim-ku.

well Autumn, goodbye!


2 Jun 2016

Surat untuk Abah

Assalamualaikum Bah..

Lama ga ketemu Abah, fiya kangen.
Kangen yang entah bagaimana menggambarkannya. Kangen yang kalau fiya utarakan langsung, pasti Abah komen, "Mbak kok cengeng, nggak malu apa dilihat Adik.."
Dan fiya akan tetap menangis, lari kepelukan Abah, tidak peduli seberapa basah nanti fiya bikin kaos Abah oleh air mata ini.

Bah, fiya sedang sangat amat sedih.
Mungkin Abah kalau fiya ceritakan cuma akan komen, "halah Mbak.. apa seh," yang sejujurnya hanya ingin menunjukkan betapa lemahnya fiya..apalagi jika Abah masih ada.

Iya, jika Abah masih disini.

Bah, entah kenapa ya, semua orang yang mendengar cerita fiya, menganggap fiya baik-baik saja..?
Apa mungkin karena fiya berharap, saat ini fiya hanya akan terlihat lemah di mata Abah. Iya sih, fiya hanya ingin menjadi lemah dipelukan Abah.

Abah, fiya kangen 😢

Di hidup yang makin berat ini, jujur fiya makin sulit melangkah. Dan hanya bisa berangan, kalau Abah ada, Abah yang semangatin fiya dari belakang. Abah akan selalu ada dengar cerita dan keluhan fiya.
See? Betapa lemah fiya Bah.

Fiya yakin, walau dulu Abah meninggalkan kami saat fiya belum paham sama sekali apa artinya hidup dan menjalani hidup, fiya yakin sekali Abah sudah menanamkam pelajaran kuat dan teguh hati itu pada fiya.
Banyak hal tersirat yang fiya pahami, dimana dulu saat Abah ada, fiya masih menelannya mentah-mentah.

Abah adalah role model fiya. Fiya harus bisa sekuat Abah. Abah pernah tanamkan pada fiya, jika kamu merasa lemah, sadarlah bahwa Allah sedang menilai dan mengujimu lebih dari yang lain. Karena di mata Allah, kamu kuat menghadapi ujian itu.

Sabar dan yakin, juga jangan pernah menyakiti hati Mama. Itulah yang Abah selalu tanamkan.
Dan..
Malam ini, semua pelajaran itu diulang lagi dikepala fiya. Saat fiya kangen Abah dan sangat butuh sosok Abah disini.

Fiya sedang lemah, sedang kalah menghadapi ujian yang diberi Allah. Dan sosok Abah hadir, dalam tangis fiya yang mengulang semua memori fiya dengan Abah.

Semoga Abah selalu ada disini, dihati fiya. Selamanya.
Hanya raga Abah yang kini tak dapat fiya rasa. Tapi didalam sini, di sudut luas hati fiya, Abah hidup selamanya.
Selama-lamanya.

Abah, fiya kangen.

1 Mei 2016

Berjalan Jauh Untuk Pergi

Pada beberapa mimpi, aku melihatmu tertawa,
lepas seperti kita tak pernah kenal sebelumnya.
Pada saat berbeda setelahnya,
aku hanya sempat melihat punggungmu.

Kau bilang pernah melihatku berlalu,
hanya membiarkan bumi berputar dan tetap hijau..
Sama seperti kamu pada awalnya.
Selalu seperti kamu dari awalnya.

Sahabatku, nilai itu sudah ingin kusematkan padamu.
Diantara nilai nilai lain yang bertengger, aku percaya kau lebih dari pantas.
Walau aku lah yang sebenarnya tidak dalam posisi menilaimu.

Pada air hujan yang basahi wajah, ingin kutemani ia dengan air mataku.
Aku sangat amat sedih harus memutuskan nilaiku, tapi wajahmu membuatku harus berlaku begitu.

😢

6 Apr 2016

Jalan Sebentar ke Pantai Licin, Ampelgading - Malang


Hahaha rasanya lama banget ya nggak posting tentang jalan-jalan. 

Menyadari bahwa hidup emang makin nggak santai, dan bingung deh gimana bikin santai, sehingga ketika ada kesempatan untuk nyantai.. saya mencoba untuk bener-bener bisa menikmati hidup tanpa gadget apapun (yaa meski ujung-ujungnya kalau nggak bawa Nikolas, saya masih kudu mengandalkan handphone).

Oke perjalanan kali ini saya dan bolang partner saya, Bu (dosen dia sekarang, di jurusan S1 tercinta, makanya kudu pakai kalimat sebutan/panggilan depan yang formal~iciyeee) Wulan dengan sepenuh hati mencoba menaklukkan kerasnya medan menuju... Pantai Licin!

Here we go, jadi ceritanya kami janjian jam setengah 6 pagi. Namanya juga ceritanya, sehingga kenyataannya jam 6 menuju setengah 7 kami baru bisa bertemu dan melaksanakan perjalanan. Menujulah kami ke arah selatan Malang, via Turen-Dampit-Ampelgading.
Setelah menghabiskan sarapan kami di warung Rini di Dampit (warung ini highly recomended buat yang melaksanakan perjalanan dari Malang menuju Lumajang via selatan) kami memutuskan untuk menuju pantai tersebut berbekal GPS, karena beberapa petunjuk kami pikir nggak menunjukkan penunjuk arah yang bener-bener jelas. Semua gambar tentang Pantai Licin pun berbeda 1 dengan yang lain.. ya gimana kami yang cuma cewe-cewe berdua ini nggak bingung?

Akhirnya dengan set up "Lebakharjo, Ampelgading, Malang, Jawa Timur, Indonesia" sebagai point destination GPS kami berangkatlah. 
Jadi jalur berangkatnya kami menggunakan jalur ekstrim yang sangat nggak kami sarankan untuk dilalui, yakni lewat jalur masuk menuju Pantai Banyu Anjlok yang ditunjukkan oleh palang jalan (kalau nggak salah palang jalan provider IN**S*T).
Tapi saat udah mencapai di pertigaan menuju Pujiharjo, kita belok ke kiri ke Lebakharjo. Ketika tanya penduduk sekitar, mereka menjawab Pantai Licin berada di dusun Nglicin yang memang masuk area Lebakharjo.
Ketika bertanya ke masyarakat setempat setelah kami berbelok di pertigaan menuju Lebakharjo dari Pujiharjo tersebut, kami bahkan sempat disangsikan bisa atau mampu melalui jalan tersebut atau tidak bakal sampai menuju ke Nglicin. Soalnya jalannya bukan jalan normal. Jalannya menuruni bukit, lebar jalan 50-60 sentimeter, dan memang jalur memotong ala masyarakat setempat yang sudah sering menggunakan. 
Alias, pengguna jalan baru SANGAT TIDAK disarankan melaluinya.

Karena nyali Bu Wulan yang membakar semangat saya juga, akhirnya kami mencoba melalui jalan tersebut. Tapi seperti yang tidak pernah saya duga, jalannya menciutkan nyali saya. Akhirnya belum ada 100 meter turun kebawah, saya protes untuk tidak menaiki motor matic beliau. Beruntung ada mas-mas penduduk setempat yang akan mencari durian di lembah, sehingga kami berdua dibantu oleh kedua orang tersebut melalui jalan ekstrim itu. Sayangnya karena alat kamera terbatas, ditambah dengan adrenalin saya yang terproduksi begitu banyak, saya nggak bisa mengabadikan ekstrimnya jalur tersebut.
Sempat diceritakan mas-mas yang bantu kami, bahwa jalur tersebut disebut Jalur Suharto. Entah apa maknanya, kami belum sempat mencari tahu.
Berbekal GPS ala manusia alias Global Pitakoning System, kami mencapai dusun Nglicin setelah melalui jalan Malang Kota - Dusun Nglicin selama 4.5 jam kurang lebih. Sebagai info tambahan, Nglicin yang dimaksud disini berbatasan dengan Kecamatan Tempursari Kabupaten Lumajang, yang nantinya kita memutuskan untuk kembali ke Malang melalui jalan antar wilayah di kecamatan tersebut. Menuju ke dusun Nglicin, kami melalui beberapa kali jembatan yang menghubungkan antar desa penambang pasir. Dan ini adalah jembatan yang paling wow karena sudah terbentuk dari beton.
Bu Wulan dan Jembatan setelah  lepas dari Jalur Suharto

Berusaha melanjutkan perjalanan, kami masuk kedalam area Kecamatan Tempursari. Berkali-kali tanya ke orang sana-sini, karena sepertinya akses menuju Pantai Licin masih sangat terbatas penunjuk jalannya. Hingga kami akhirnya sampai di Desa Tegalrejo, lokasi dimana jembatan kayu menuju dusun Nglicin berada.

Bu Wulan dan Si Ganteng sedang mencoba menyeberang menuju Dusun Licin

Setelah tanya sana-sini, akhirnya kami sampai di Dusun Licin dengan jalur jalan semi horor yang seperti gambar dibawah. Beruntungnya kami, karena kami terus menerus disuguhi keindahan Pantai Selatan Malang (dan Lumajang) ini. Sehingga tidak ada rasa menyesal dari kami melalui perjalanan panjang.

Jalan di Dusun Licin
Panorama sepanjang perjalanan di Dusun Licin

Setelah melalui jalan tersebut, kami akhirnya sampai di Pantai Licin dengan penuh perjuangan. Diluar dugaan, pantai yang kami kunjungi saat weekend beberapa minggu yang lalu ini lumayan ramai, membuat kami berpikir betapa jawaranya orang-orang ini bisa mencapai sini dengan bahagia. Bahkan pantai ini dipergunakan untuk kemping beberapa grup pemuda, piknik keluarga-keluarga kecil.. yang mana semuanya menggunakan kendaraan roda dua untuk menuju kesini. Memang tidak mungkin dijangkau dengan roda empat sepertinya melihat jalur yang berbahaya seperti itu.

Welcome Greeting
Mengetahui perjalanan kembali akan menjadi sangat panjang, kami memutuskan untuk tidak berlama-lama di Pantai Licin. Sebentar saja menikmati indah dan tenangnya pantai ini, pasir hitam semi putih yang terbentuk dari material vulkanik campur koral, dan karang-karang yang menjulang kokoh disana. Terimakasih telah menerima kami disana!

The Beauty of Licin Beach

Perjalanan pulang kami tempuh dengan jarak yang lebih jauh namun dengan waktu yang relatif cepat. Kami lewat jalan besar Kecamatan Tempursari. Meski jalur utama tersebut masih sering kami jumpai rusaknya, namun ujalur ini relatif lebih aman dilalui daripada menggunakan jalur masuk via jalur Pantai Banyu Anjlok.
Secara administratif mungkin Pantai Licin masuk ke dalam Kecamatan Ampelgading, namun jalur menujunya kami rasa jauh lebih aman dan baik jika melalui jalur umum Tempursari - Lumajang.

So, kalian yang suka ekstrem trip? Monggo rasakan sensasi menuju pantai indah diujung selatan Malang ini.
Semoga masih ada kesempatan buat saya menulis cerita jalan-jalan lagi ya!

3 Apr 2016

Mencari Dia Hanya Untuk Membahagiakannya

Yogyakarta - Pastabanget Signature's Candle - 2016
Masih berkutat dengan pertanyaan dikepala yang tidak bisa kujawab..
Sambil memandangi wajahnya, aku meneteskan air mataku.
Mencari yang belum inginnya kucari..
Aku meminta pada Dia Yang Maha Segala untuk tetap menjagaku,
tapi dari apa?
Aku takut aku tak tahu itu apa.

Ya, aku terkadang merindukannya.
Merindukan sosok itu, sosok kepercayaan hati dan kepalaku.
Meski singgasananya sedang kosong, anehnya aku tak sekalipun ingin membiarkannya terisi.

Iya, aku menunggu hingga perasaan sakit ini pergi.
Menangis dan terus meneteskan air mata.
Kodratku untuk hak yang bisa kuutarakan hanya mampu sampai sebatas ini.

Sepanjang waktu aku hanya bisa mendoakan kebahagiaannya.
Melihatnya dari jauh tanpa bisa aku meminta untuk mendekatinya..
Bahkan ataupun meminta dia menjadi lebih dekat dari biasanya.
Aku membiarkan perasaan ini kujejalkan dengan sesaknya dalam liang dasar hatiku.
Memaksanya untuk mati.
Yang sebenarnya aku berjuang sempat....untuk membiarkannya tetap hidup.

Hanya sampai sebatas membahagiakannya, juga membahagiakan hatiku,
hanya untuk agar membiarkannya tidak bertanya..
Aku hanya mampu menyembuhkan luka luar..
sementara luka separah patah dalam hati dan kepala ini, aku tak tahu harus membuatnya menjadi bagaimana.

Apa yang harus aku tanyakan pada dunia untuk membuatku benar,
sementara aku tak tahu apa yang membuatku hancur...?

Pilu. Bodoh. Salah.

Itu saja yang bisa kupahami pada diriku. Itu saja yang bisa kupahami tentang lukaku.
Selebihnya? Darah berceer dimana-mana, tanpa kurasa sakitnya kenapa.

Betapa susahnya mengingkari kepala bahwa ini semua baik-baik saja.
Menyakiti diri sendiri seringkali aku mencoba menyimpulkan jawabannya.
Membakar diri sendiri agar lebih menjadi berarti, seperti lilin yang berusaha agar tetap bercahaya.
Meski akhirnya tujuan dia ada agar mati.

Yang akhirnya pilihan itu hanyalah, menunggu hingga lukanya kering.
Lalu aku melangkah lagi.

Lingkaran untuk rindu lagi, cinta lagi, luka lagi.
Kebodohan untuk lubang-lubang ranjau yang berulang.

Semua ujung samudera usia yang aku lalui, hanya untuk bertemu dengannya.
Untuk mencintainya tanpa ada lubang luka.
Segala hutan rimba kesenangan dan masa muda aku libas habis, hanya untuk melihat sosoknya.


Iya, aku ingin selalu membahagiakannya.
Selalu-ingin-membuat-dia-merasa-semua-baik-saja.

Hanya agar membuat dia tidak bertanya,
"kamu kenapa?"




Karena aku pun tidak tahu apa jawabannya.

25 Jan 2016

Hati, Kepala, Mata dan Telinga

Helaan nafas menyesal masih terus menghantuiku.
Dan itu benar. Aku menyesal.

Sepertinya perlu menghitung dosaku,
Karena setiap kata terangkai yang keluar untukmu,
Selalu ingin aku tarik kembali.

Perasaan itu tak terbantahkan.
Iya aku mengakuinya, bahkan menyumpahi hatiku yang menolaknya dengan angkuh.
Dan hatiku terus kudera dengan sakit yang sebenarnyapun tak berguna.
Hufh.

Lihatlah, kembali lagi aku mengeluh.
Mengeluhkan kebodohanku mencinta,
Kebodohan menolaknya, dan kegagalanku untuk mengakuinya.
Bahkan mulut ini terus menertawai kepalaku. Sial...

Aku berulangkali menenangkan hatiku,
Berjanji padanya takkan lagi membiarkan hati sakit,
Takkan lagi membiarkannya tampak bodoh, didepan dia yang maha sempurna..

Lihat saja, jemari ini terus menusukkan kata kata tentang hal-hal yang ditolak hati.
Tidak, kadang kau perlu untuk merasakannya.

Karena sejatinya. Mengakui cinta adalah kelemahan kepalaku. Mengumandangkan rindu yang sakit adalah kekuatan yang selalu membuat hatiku menang atas kepalaku yang kadang diolok, "dasar bodoh...!!" sepanjang hari hanya karena 1-3 kalimat bodoh yang terucap.

Menyumpahserapahi diri sendiri kenapa menjadi kebiasaanku kini.
Semenjak aku tak mampu berkeras kepala untuk menang dari mulut nya..
Semenjak aku memilih untuk diam, dan menikmati telingaku yang mendengarnya bicara.
Semenjak aku rapuh. Karena merasa merindukan cerita-cerita dan kalimat bodohnya dia, yang kukagumi karena jeniusnya..
Semenjak aku jadi mudah merindukannya. Diantara waktu jauh yang kubeli untuk mencapai titik ujungku..
Semenjak aku gila dan berpikir yang tidak-tidak hanya karena aku menunda pertanyaanku.
Semenjak kata-kata untuk nya begitu sulit untuk kuutarakan..
Semenjak aku jadi lebih sering menikmati kesendirianku yang gila.
Kesendirianku dalam dialog antara hati, kepala, mata dan telingaku.

Wow. Ini gila.
Tolong sembuhkan aku dari kebenaran untuk membodoh-bodohi diri sendiri.
Tolong biarkankan perasaan ini meluap, karena aku pun tak ingin mengakuinya.
Tolong biarkan ini perlahan memudar..
Karena memang bukan dia.

22 Jan 2016

Suratku tuk Camar

Memang tak usah, tak lagi perlu dikatakan.
Sudah cukup kalimatku tercipta indah buat si burung camar.
Segalanya hancur, burung camarpun terbang dengan marah, sarangnya hancur, telurnya pecah, aku terpuruk.

Tak tapi aku tetap bahagia karena Allah tak kurang menganugerahiku orang-orang yang kusayang, dan sayang padaku.

Kamu terbang dan selalu kutinggikan, tapi aku kau jatuhkan di danau biru yang dalam.
Sekali lagi aku jatuh, tapi ku mengapung, coba lompat dan bertahan.

Pesanku pada burung camar;
Kau bukan merpati yang tak ingkar janji. Kau makhluk bersayap lain yang jua indah, jua berhati.
Jangan mudah kau pegang kata kata, pabila itu berlapis dua sumbernya.
Kau takkan tau kebenaran sebelum menanyakannya langsung. Akan selalu seperti itu.

Maaf atas patahnya setengah sayapmu, mungkin karenaku, mungkin karena yang lain.
Maaf, bila ku tak bisa bantu perbaiki.