25 Jan 2016

Hati, Kepala, Mata dan Telinga

Helaan nafas menyesal masih terus menghantuiku.
Dan itu benar. Aku menyesal.

Sepertinya perlu menghitung dosaku,
Karena setiap kata terangkai yang keluar untukmu,
Selalu ingin aku tarik kembali.

Perasaan itu tak terbantahkan.
Iya aku mengakuinya, bahkan menyumpahi hatiku yang menolaknya dengan angkuh.
Dan hatiku terus kudera dengan sakit yang sebenarnyapun tak berguna.
Hufh.

Lihatlah, kembali lagi aku mengeluh.
Mengeluhkan kebodohanku mencinta,
Kebodohan menolaknya, dan kegagalanku untuk mengakuinya.
Bahkan mulut ini terus menertawai kepalaku. Sial...

Aku berulangkali menenangkan hatiku,
Berjanji padanya takkan lagi membiarkan hati sakit,
Takkan lagi membiarkannya tampak bodoh, didepan dia yang maha sempurna..

Lihat saja, jemari ini terus menusukkan kata kata tentang hal-hal yang ditolak hati.
Tidak, kadang kau perlu untuk merasakannya.

Karena sejatinya. Mengakui cinta adalah kelemahan kepalaku. Mengumandangkan rindu yang sakit adalah kekuatan yang selalu membuat hatiku menang atas kepalaku yang kadang diolok, "dasar bodoh...!!" sepanjang hari hanya karena 1-3 kalimat bodoh yang terucap.

Menyumpahserapahi diri sendiri kenapa menjadi kebiasaanku kini.
Semenjak aku tak mampu berkeras kepala untuk menang dari mulut nya..
Semenjak aku memilih untuk diam, dan menikmati telingaku yang mendengarnya bicara.
Semenjak aku rapuh. Karena merasa merindukan cerita-cerita dan kalimat bodohnya dia, yang kukagumi karena jeniusnya..
Semenjak aku jadi mudah merindukannya. Diantara waktu jauh yang kubeli untuk mencapai titik ujungku..
Semenjak aku gila dan berpikir yang tidak-tidak hanya karena aku menunda pertanyaanku.
Semenjak kata-kata untuk nya begitu sulit untuk kuutarakan..
Semenjak aku jadi lebih sering menikmati kesendirianku yang gila.
Kesendirianku dalam dialog antara hati, kepala, mata dan telingaku.

Wow. Ini gila.
Tolong sembuhkan aku dari kebenaran untuk membodoh-bodohi diri sendiri.
Tolong biarkankan perasaan ini meluap, karena aku pun tak ingin mengakuinya.
Tolong biarkan ini perlahan memudar..
Karena memang bukan dia.

22 Jan 2016

Suratku tuk Camar

Memang tak usah, tak lagi perlu dikatakan.
Sudah cukup kalimatku tercipta indah buat si burung camar.
Segalanya hancur, burung camarpun terbang dengan marah, sarangnya hancur, telurnya pecah, aku terpuruk.

Tak tapi aku tetap bahagia karena Allah tak kurang menganugerahiku orang-orang yang kusayang, dan sayang padaku.

Kamu terbang dan selalu kutinggikan, tapi aku kau jatuhkan di danau biru yang dalam.
Sekali lagi aku jatuh, tapi ku mengapung, coba lompat dan bertahan.

Pesanku pada burung camar;
Kau bukan merpati yang tak ingkar janji. Kau makhluk bersayap lain yang jua indah, jua berhati.
Jangan mudah kau pegang kata kata, pabila itu berlapis dua sumbernya.
Kau takkan tau kebenaran sebelum menanyakannya langsung. Akan selalu seperti itu.

Maaf atas patahnya setengah sayapmu, mungkin karenaku, mungkin karena yang lain.
Maaf, bila ku tak bisa bantu perbaiki.