8 Jan 2012

Sapa Aku Saat Senja


Mungkin bagimu kenangan itu sudah berlalu,
Tidak bagi seseorang disini..
Mungkin hanya sebagian kecil dari lekukan waktu rumitmu,
Dalam langkah-langkah lebarmu menggapai tujuan apa itu yang ga aku pahami.
Tidak bagi memori dikepalaku..

Sebagian kecil hal itu, sejenak waktu itu,
Segala ceritamu, kisah hidupmu, kata rajukan hati ke hati yang kau utarakan,
Segalanya,
Menguntai dengan ramah pada satu lembaran berwarna biru langit yang cerah disini, dikepalaku.

Dan ingatkah ketika kau berkata hati ini adalah rumah bagimu, bagi siapapun yang meminta, segala kebaikanmu tak akan aku lupa, kuanggap segalanya adalah hal yang baik, sangat baik dimataku.
Dan aku terpesona, sebentar saja terlena, tak sadarkan diri saat senja itu mencoba untuk mengingatkan hatiku untuk tetap terjaga.
Tanpa menyadari bahwa segala yang kita lalui itu adalah caramu untuk mengucapkan kata, pergi. Tanpa mengetahui bahwa segala kenangan manis nan indah yang aku ukir, aku bordir dengan kawat emas abadi, adalah caramu untuk berpamitan dengan halusnya. Masih, dengan baiknya.
Aku terjatuh seketika saat sadar dirimu sudah tak lagi disana.
Aku terjatuh begitu keras, terpuruk hampir. Mencoba mengulang segala detik yang terlalui bersamamu, untuk mencari apa salahku?
Masih, di waktu yang sama. Aku terus menyalahkan diriku atas kepergianmu yang sangat tiba-tiba.

Hingga kemarin senja, aku masih, selalu, mengenangmu dengan caraku.
Masih, menyalahkan diri sendiri atas kepergianmu yang tak kusadari saat lalu.
Merindukanmu, mengingat, menggambarkan keberadaanmu dengan indah. Dengan segala kebaikan tanpa cela yang kau miliki, dan sungguh, kau masih memiliki pesona itu. Hingga membuat rindu ini terasa sangat bodoh dan menyakitkan.
Ya, bodoh dan menyakitkan.
Bodoh karena aku merasa aku memang tak pantas mengenalmu dilekuk waktu ini. Aku bukan orang baik, bukan sebaik dirimu yang selalu indah dimataku dengan segala kesahajaanmu.
Bodoh karena aku tak percaya diri, aku yang selalu merasa tidak, dan merasa kurang. Mungkin dimatamu aku seperti itu.
Sakit karena aku terlanjur menyimpanmu dihatiku yang dalam, terlalu dalam. Sakit karena apa yang aku tanam telah berakar kuat sehingga sulit untuk kucabut lagi.
Ya, sakitnya adalah ketika aku harus melupakanmu saat aku sangat merasa merindukanmu.
Bodoh dan sakit kan?

Kemarin, aku terus mencari cara untuk melupakanmu. Sekenanya menghapusmu karena kurasa terlalu tidak mungkin untuk menemukanmu diantara jemari manusia dikota itu, kotamu. Sebisa mungkin melupakanmu entah bagaimana caranya. Mencoba pergi jauh dari rasa bodoh dan sakit itu.
Tapi aku terus menangisimu tiap malam. Yasudah, bodoh ya bodoh saja.

Hingga akhirnya dimalam sakral itu, dimana hingga penghujung waktu berganti. Dimana seluruh manusia merayakan hadirnya tahun kabisat yang baru. Aku menengadah keatas. Dilangit kotamu aku berdoa. Ribuan jauhnya jarak aku tempuh untuk saat-saat ini.
Yap. Hanya ada aku, Tuhan, dan sepenggal bayangan yang kugambarkan dengan susah payah, saking lamanya perjumpaan terakhir kita.
Aku meminta pada-Nya, dengan segenap hati dan permohonanku, dilangit malam yang mendung itu. Aku meminta pada Dia, dengan hati yang sempat remuk namun telah kusapih satu per satu hingga perlahan utuh. Walaupun takkan sama seperti dulu. Aku berbicara pada-Nya, soal kamu, soal kita, dan segala hal yang telah terlalui bersama.
Atas ijin-Nya, aku memohon untuk menghapusmu dari hidupku. Atas ijin Dia, aku meminta untuk melupakanmu, melepas, ikhlas, dan memohon serta merta sebuah kelegaan setelahnya.
Dilangit hitam berhiaskan percikan api nan berwarna indah berjam-jam lamanya, aku meminta pada Tuhan untuk merelakanmu seutuhnya.
-masih- Bodoh dan sakit rasanya.

Senja setelahnya, hujan yang manis mengantarkan aku pada langkah mantapku. Langkah ini yang membawaku pada senja indah setelahnya, dan setelahnya lagi.
Senja juga yang mengantarkan aku pada tempat manis dimana kau pernah bercerita tentang hidup, tentang cintamu, tentang tujuanmu ke kota ini, segala cerita dengan baik dan kuatnya. Selalu membuatku terpesona. Senja mengantarkan aku pada terbitnya matahari itu, saat kau bercerita.
Senja mengantarku pada langit ini, pada tempat ini.
Such A Beautiful Place, Beautiful Air Still
Tuhan benar-benar memberiku kelegaan dan air mata untuk melepasmu. Tuhan benar-benar menganugerahkannya padaku hari itu, pagi yang indah itu. Dia ada untukku, untuk kenangan itu, dan juga untuk keberadaanmu yang entah dimana.
Perlahan aku sudah melepasmu, perlahan hati ini ikhlas. Mungkin saja aku berharap hal yang kosong, namun harapan akan selalu didengar oleh-Nya kan?
Semoga kau baik-baik saja, dimanapun kau sekarang berada.

Sincerely,
Me