Halo, lama sekali aku tidak
menulis di blog. Kesempatan kali ini, aku ingin sedikit mereview perjalanan
kemarin ke Borobudur.
Setelah sekian lama merencanakan
untuk melihat festival lampion peringatan Waisak, akhirnya Sabtu malam tanggal
25 Mei 2013 kemarin kubulatkan tekadku -sebulat tubuhku- untuk pergi menuju
Candi Borobudur, tempat festival tersebut diadakan.
Perjalanan yang ditempuh menuju
Mungkid, Magelang sedikit lebih lama dari perjalanan sepeda motor menuju
Borobudur tahun lalu, yakni mencapai 1 jam lebih. Dikarenakan hujan dan
antusiasme warga Jogja dan sekitar yang juga ingin menyaksikan perayaan hari
besar umat Budha tersebut, sehingga akses jalan yang ada menjadi padat. Mirip sekali
dengan arus mudik lebaran.
Masuk ke kawasan Candi Borobudur,
waktu sudah menunjukkan adzan maghrib, maka ku belokkan arah menuju pom
terdekat untuk menumpang ibadah. Pom pun penuh sesak dengan orang yang ingin
beribadah maghrib dan juga menggunakan toilet. Fyuh.
Aku berkendara menggunakan sepeda
motor kesayangan, Babyblue, dengan seorang kawan yang juga kebetulan sekolah di
Jogja, si Theodorik. Ketika masuk kawasan wisata, jalanan masuk utama telah
dijaga ketat oleh polisi, akhirnya terjadi pengalihan arus dan motor kami
mengarah sedikit keatas untuk masuk ke Borobudur, lewat pintu utama atas.
Setelah motor terparkir kami
masuk ke bagian tiket masuk, dan ternyata loket itu telah tutup sesuai jadwal,
yakni pukul 17.00 WIB. Kami mencuri-curi dengar dari wisatawan domestic lain
yang ingin masuk menuju Borobudur, pengunjung bisa masuk melalui pintu selatan,
atau di Pusat Studi Manohara. Sontak berbondong-bondonglah pengunjung berjalan
kaki menuju pintu yang dimaksud.
Jalur masuk dari Manohara pun
tidak mulus, kami berdesakan sekitar setengah jam (atau lebih) dengan
pengunjung lain yang juga ingin masuk. Penuh sesak, dibarengi asap solar dari
kendaraan roda empat yang berada di sisi jalan gerbang masuk Manohara. Sempat
ku berfikir, apakah harus seperti ini usaha untuk menikmati festival lampion?
Ah, dari situ aku mulai curiga,
karena sudah tidak ada suara-suara acara ibadah atau sembahyang umat Budha yang
pernah kudengar saat mengunjungi Borobudur tahun lalu.. Atau mungkin kami masuk
dari pintu yang berlawanan dengan lokasi acara?
Entahlah. Aku yakin banyak yang
berpikiran sama dengan aku saat itu.
Ketika sudah melewati penjagaan
dan pemeriksaan ala bandara yang ketat, kami berhasil masuk. Benarlah, sudah
sepi. Tidak ada umat Budha yang melaksanakan sembahyang. Hanyalah pengunjung domestic
dan manca yang berseliweran. Hujan pun mulai mengguyur saat aku berhasil
mengabadikan beberapa moment puncak Candi Borobudur saat malam yang tampak
megah. Subhanallaah :)
Cantiknya Puncak borobudur di malam Waisak 2557 |
Hujan tak kunjung berhenti. Kami
duduk-duduk dibawah terop-terop bekas sembahyang umat Budha siang hari tadi. Satu
hingga dua jam menunggu, hujan sama sekali tidak memberi jeda kami untuk
berpindah tempat. Diujung sana, puncak Candi Borobudur sedang berpose dengan
indahnya.
Banyak prasangka yang muncul,
jika hujan tak reda, maka tidak ada acara larung lampion. Kami duduk berlawanan
posisi dengan acara malam Waisak dimana Menteri Agama RI sedang memberi
sambutan. Tripod atau kaki-kaki penyangga kamera SLR, blitz bertebar
dimana-mana, tiada satupun yang mengira akan terjadi hujan selebat itu.
Kami memutuskan untuk menunggu,
namun hingga jam tangan menunjukkan pukul 23.00 WIB, hujan diluar tenda
sembahyang tidak kunjung reda. Maka pengunjung mulai pulang satu per satu,
pemandangan wajah kekecewaan sudah kulihat sejak hujan semakin deras, banyak
diantaranya sudah memutuskan pulang sejak pukul 21.00 karena sempat tersiar
foto di jejaring sosial yang mengabarkan jadwal acara larung lampion
dilaksanakan tepat sebelum pukul 21.00 WIB.
Sekitar pukul sebelas lebih
sedikit kami memutuskan kembali pulang ke Jogja, sedikit kecewa dan banyak
berpikir, apa yang sudah kami lakukan sejauh ini.
Sepanjang perjalanan pulang, aku
sedikit berdendang sambil berpikir, apa yang Allah maksud dengan ini?
Jawabannya kutemukan pagi ini,
melalui sebuah renungan singkat setelah beribadah sholat subuh, dan mengenang Hari
Raya Waisak tahun lalu.
Bayangkanlah kawan.. bagaimana
kondisinya, apabila beribu pasang mata sibuk mengabadikan moment beribadah umat
Budha menggunakan lensa kamera dengan blitznya yang mengganggu?
Padahal hakikat beribadah di
semua agama sama. KHUSYUK.
Lalu dimana khusyuknya? Ketika kita
berdoa pada Yang Kuasa, namun disekitar kita orang berlalu lalang sibuk
mengabadikan moment beribadah umat (yang mungkin) tidak seagama, dimanakah?
Lalu aku bersyukur sekali, Yang
Maha Mengetahui sengaja tidak memberi perintah pada malaikat-Nya untuk
menghentikan hujan. Bayangkan bagaimana seandainya kalau hujan berhenti?
Wajah-wajah yang terobsesi sebagai “peng-abadi moment” masuk meringsek
diantara orang-orang yang sedang sembahyang, sedang berdoa mengucap syukur dan
pengharapan atas kelahiran Pangeran Sidharta.
Kurang lebih, dendam yang ada akan
sama besarnya dengan pembantaian umat muslim diseluruh dunia.
Seketika aku sangat menyesal.
Aku ingat bahwa tahun kemarin dan
tahun sebelumna, aku mengunjungi rumah kawan karib mama untuk mengucap selamat Waisak
dan merayakannya bersama mereka. Suasana yang aku rindu, suasana yang indah
antar umat beragama, yang selalu menjadi moment terbaik tanpa ada perlu kamera
SLR, ataupun tripodnya, ataupun video recordernya.
Tahun ini, aku kok malah secara
tidak langsung berusaha untuk menghancurkan ibadah mereka.
Maaf :(
Maka disini, di blog ini,
siapapun pembacanya, aku mohon maaf atas keputusan untuk pergi dan keinginan
untuk menikmati keindahan perayaan Waisak yang jadinya malah mengganggu
kekhusyukan beribadah umat agama lain.
Perlu berpikir dua kali atau
lebih, ketika kita ingin menikmati keindahan suatu moment.
Apakah menyaikiti pihak lain? Apakah
mengganggu kebebasan berekspresi pihak lain?
Atau malah bukan merupakan
saat-saat yang perlu untuk disaksikan pihak lain?
Sungguh merupakan sebuah pelajaran besar buatku. Pelajaran yang memberikan tamparan keras bagi caraku memandang dan menghargai orang lain.
Perjalanan yang penuh retorika akan kebersamaan hidup antar umat.
Bahwa...
Menghargai sesama, adalah cara
kita menghargai diri kita, dan cara kita memberikan bayaran yang pantas bagi
orang lain terhadap apa yang diperbuatnya.
Sekian. Wassalamualaikum