Mungkin ini sedikit konyol, karena selama ini aku berkeras
hati.
Sedikit konyol, dan memaksakan, meski tidak mungkin
kutemukan pada tumpukan jemari waktu bersama kita.
Keras hati yang berlebihan,
sedikit berlebihan. Tidak ingin berlebihan tetapi, didepanmu.
Aku sempat berharap aku adalah titik tertinggi itu, namun
entah mengapa kini harapan itu malah sangat amat ingin aku lupakan..sekali.
Aku bersyukur mengenalmu, kini bersyukurku bertambah seiring
kemampuan hatiku yang makin kuat…untuk melupakanmu.
Sebenarnya bukan betul-betul melupakanmu kok, tetapi merubah
cara pandangku terhadapmu.
Mencoba memandangmu dengan sudut pandang lain, yang tidak
menyakitimu..juga tidak akan lagi meremukkan hatiku.
Dulu aku selalu berpikir, apalah aku tanpa ada kamu?
Kini pemikiran macam itu malah membuatku tampak bodoh, malah
membuatku semakin ingin pergi jauh, dan lupa.
Mungkin jalannya seperti ini.
Aku bersyukur kok mengenalmu. Darimu aku belajar banyak hal.
Darimu, aku belajar bahwa kaumkulah yang seharusnya lebih
tidak tegas, dan kaummu menjadi penyempurnanya.
Aku salah. Aku yang dulu berpikir selama ini hanya ada kamu,
kini tidak ingin lagi membiarkanmu menjadi benalu hati. Itu sakit.
Kau tahu rasanya memikirkan dan sakit karena orang yang
tidak pernah memikirkan dan sakit karenamu?
Banyak yang nyata, tapi aku tetap terpejam entah mengapa.
Yasudah, bodoh ya bodoh saja.
Bodoh yang ini membuatku
terpelanting lebih tinggi.
Bodoh yang ini menyelamatkanku darimu.
Aku ingin segera pergi, dan meninggalkan bayanganmu. Tapi tidak
dengan tangisan.
Aku ingin segera pergi, dan meninggalkan bayanganmu. Tapi bukan
karena ini tidak bisa dilanjutkan.
Hanya, ini tidak bisa bertahan.
Aku akan mengingkari janjiku. Aku akan batalkan janjiku
dengan Aidya soal ini.
Aku sudah melakukannya di tahun ketigaku, jadi untuk apa
diteruskan? Aku sakit. Dan makin sakit dengan berjalannya waktu.
Membuatku secepatnya harus pergi.
Membuatku secepatnya harus meminta maaf pada bayanganmu.
Dan pergi sejauh-jauhnya dari ranah yang ternyata tidak pernah mampu aku pahami.
Dan pergi sejauh-jauhnya dari ranah yang ternyata tidak pernah mampu aku pahami.
Abu-abu yang parah. Abu-abu yang menyakitkan.
Sudah cukup aku dikata-katai bodoh oleh kepalaku sendiri. Saatnya
melepas tanganmu. Saatnya melepas bayanganmu.
Akan banyak kuucap terimakasih atas semua mimpi-mimpi, angan, cerita, ungkapan, dan…yah,
segalanya.
Let you go |
Mungkin surat kemarin tidak cukup jelas menyayatku,
penulisnya.
Sehingga carutnya harus ada di wajahku juga.
Atau mungkin aku terbang memang terlewat tinggi?
Kini, melepas tanganmu adalah impianku.
Melepaskan genggaman, dan membuka sayapku.
Melepaskan belenggu tak terlihat, dan membuka hati..
Eh?
Membuka hati?