Apa jadinya
kalau lingkaran ini tidak menaungi kita? Akankah aku tetap terluka, dan
memaksakan bibir tetap tertawa dihadapanmu? Sepertinya segalanya menjadi
berbeda dengan sendirinya.
Terkadang aku
menikmati lingkaran ini, meski sadar ia takkan bertahan lama. Tapi terkadang
hatiku berjengit sangat sakit, saat sadar kita ini bukan dan tidak akan menjadi
apapun.
Sakit sekali
bukan? Memaksakan hal yang tidak pada tempatnya.
Kamu dan aku
merupakan satu jalur yang tidak searah. Kamu dan aku, seperti udara karbon yang
merindukan lenyap oleh kebutuhan hijaunya daun. Kita, dipertemukan hanya untuk
musnah.
Aku benci
merasa kagum sekejap. Bukankah kekaguman fitrahnya merupakan ketapel untuk
melanjutkan perjalanan? Bukankah itu adalah kamu?
Kamu sadar,
namun membalas ejekan dunia dengan sinisnya. Tawamu yang menghina.
Iya, tawamu menghina dunia kau tahu?
Iya, tawamu menghina dunia kau tahu?
Dan kita
tertawa bersama.
Wow. =)
Aku tahu
engkau sedang sakit, menunggu penyembuh itu datang.
Aku tahu,
seluruh ceritamu adalah kejujuran. Meski dunia diatas dunia mengingkarinya.
Ambisimu membuat
dunia terlalu mudah mengacuhkan impianmu..
Sebenarnya aku
sadar.. jika kamupun tahu, aku sakit, aku tidak memintamu menopangku.
Aku takut
bergantung terlalu lama pada hal yang tidak dapat aku miliki.
Hal yang kita
berdua tahu, penyembuh yang dimaksud tak lain adalah dan hanyalah.. waktu.
Maka dari
titik ini, kita berjalan tanpa arah. Kamu dan aku, sejalur tapi tak ingin
sejalur.
Searah tapi
beda tujuan. Aku tahu kau ingin kemana, tapi tak kan kubiarkan kau tahu aku
ingin kemana.
Itu akan
menyakitiku dengan keterbukaan yang terlalu.
Aku benci
ambisimu. Itu kosong dan berdebu.
Tapi aku
kagum kamu tetap percaya akan kepercayaan itu sendiri.
Membuatmu selalu
sukses untuk berdiri lebih tegak dari yang kau kira. Aku sangat, amat kagum.
Aku mencintai
kekagumanku.
Aku mencintaimu
dengan kagumku. Tidak, tidak akan lebih dari itu.
Dan tolonglah,
jangan selalu meminta lebih. Tolonglah jauhkan wajah itu dariku.
Tolonglah sekali
saja, kau penunjuk jalannya. Jangan terus berdiri mendampingiku.
Senyummu hambar
saat kamu tampak bodoh. Aku benci hambar itu.
Kau tahu?
Penghapus ditanganku
ingin sekali menghapus senyummu.
Tapi menghapus
senyummu, berarti menghapus kehadiranmu disisiku. Menghapus seluruhmu.
Karena selama
itu, hanya senyum itu yang membuatku menilaimu masih berhati.
Sementara lagu
yang kunyanyikan itu masih mengalun dikepalaku,
Aku takkan
membiarkanmu jatuh. Sampai waktu akhirnya membuatmu jauh dari pelupuk dan
jangkauan mataku.
Kau akan
pulang segera, dan aku juga akan pulang kepangkuan impianku.
Kita akan
terbedakan jarak, aku akan dengan mudahnya merindukan senyum hambar yang selalu
kutadah dengan tawa ini.
Tentu saja. Akan
sangat merindukan ambisimu yang berkobar, tapi tetap saja akan kutertawai.
Suatu saat
kau akan tahu. Sajak ini adalah tentangmu.
Suatu saat
kau akan mengerti. Tertawa adalah doaku.
Doa yang
sama saat mata itu berpaling dan perutku jadi serasa jatuh.
Doa untuk semoga
akhirnya kau sembuh dari luka, dan bahagia.
Lights will guide you home,
And ignite your bones.
I will try, to fix you.