20 Mar 2019

Mungkin

Kalimat itu selalu menjadi hal yang menyangkut di tenggorokanku
Seperti ombak tertahan batuan dan membuat sebagiannya tertinggal dan mengering

Selama ini diriku terlalu terlena oleh kesedihan, hingga tidak menyadari keberadaanmu
Yang (sebenarnya) tampak biasapun, membahagiakanku

Aku tidak pernah sempurna,
Apa arti sempurna jika itu membuat kita semakin susah untuk sekali lagi bertatap mata?

Aku memikirkan dia,
Tapi tanganku mengarahkanku untuk menjagamu.
Apa arti isi kepala jika hatiku menolaknya?

Apalah aku ini yang selalu merasa bodoh didepanmu,
Iya.. saat dalam satu mimbar bersamamu
Aku mengingatnya, hal termanis yang pernah kamu lakukan untukku
Perut selalu sakit mengingatnya, bibir tertarik ke kanan dan ke kiri, pipi bersemu merah
Sejak itu, kamu naik bertingkat-tingkat dari sana, tempatmu yang biasa.

Kata itu tidak akan terucap, dan aku selalu ingin menjauh
Kata yang sama, yang selalu aku gumamkan saat ingin mengutarakannya padamu
Kata yang seringkali urung aku sampaikan
Bersambut dengan kalimat yang sama setiap kali.

Iya,
Mungkin kita harus saling menjauh dari titik ini?
Mungkinkah kepala ini berpaling dan tidak menoleh lagi?
Mungkin saja kita kembali ke titik itu, belasan tahun yang lalu.
Saat kau bukan siapapun, aku bukan siapapun. Bagi kita satu sama lain.

Mungkin.

10 Mar 2019

Perlahan Mewujudkan Mimpi (1)

Waktu sudah menunjukkan sore hari saat shuttle bandara yang aku tumpangi dari kotaku memasuki batas dengan kota sebelah, lokasi bandara internasional propinsi. Jalanan lengang dan cenderung sepi, mungkin karena belum waktunya jam pulang kantor. Kulihat lagi jam tanganku yang tidak hanya menunjukkan pukul berapa seharusnya sekarang, tapi jumlah langkahku hari ini. Oke aku tidak mungkin terlambat. Masih panjang waktu untuk check-in dan kupikir masihlah sempat untuk mengisi perut yang semenjak pagi belum satupun merasakan kehadiran makanan.

Sore ini aku terbang menuju Tokyo, hari Kamis tengah minggu di bulan Januari yang hangat di kotaku. Dan pastinya hari Jumat yang sangat dingin Tokyo besok saat aku tiba.

Sudah sekitar enam tahun yang lalu terakhir kali aku menginjakkan kali di negara adidaya asia itu, semenjak student exchange program dari jurusan sekolah S2 yang mengantarkanku ke Jepang dan berada disana kurang lebih tiga minggu. Mirip konsep summer school karena durasinya yang sebentar dan saat itu memang sedang musim panas.
Well, semenjak saat itulah aku bertekad ingin kembali lagi ke Jepang suatu saat untuk merasakan musim yang lain dari negara ini.

And here I am now! Siap bertolak menuju negara yang sensasinya selalu aku rindukan itu.
Ssst, jangan bilang siapapun ya? Aku merindukan suasana Jepang karena inilah satu-satunya negara yang pernah aku kunjungi dengan visa sebagai syarat masuknya. Satu-satunya negara pula yang pernah aku kunjungi dengan musim yang lebih dari dua musim seperti negara kita.
Ditambah lagi, keinginanku enam tahun silam saat berkunjung kesana adalah ingin kembali lagi di kondisi yang lebih baik, lebih senggang,  hanya untuk liburan dan menikmati suasana di musim yang berbeda.

Lihatlah betapa baiknya Tuhan, yang mengizinkanku akhirnya menginjakkan kaki kesana lagi sesuai dengan keinginanku dulu. Persis. Mungkin itulah maknanya orang-orang bilang Tuhan akan mewujudkan keinginanmu jika kamu sabar. Hehe. Berarti aku harus bersabar lagi untuk mewujudkan keinginanku satu lagi, yakni membawa Mama, orangtuaku satu-satunya, pergi umroh denganku. Semoga kesabaran untuk hal itu tidak harus membuatku menunggu selama enam tahun ya. Aamiin.

Kendaraan shuttle car ini sudah memasuki terminal internasional, yang mana artinya giliranku untuk turun. Ransel sudah ku bawa di punggung bersama satu buah koper perlengkapanku berperang dengan suhu rendah di Jepang nanti. Tadinya ransel ini juga rencananya mau aku penuhi dengan kebutuhan badan akan kehangatan. Tapi Mama berpesan, sebaiknya bawa yang paling tebal saja satu jaket cukup (dengan gaya mantap beliau yang biasa), dan akhirnya membuat ranselku sedikit kosong karena hanya berisi sebuah jaket parka dan peralatan memotretku saja.
Nah bicara soal peralatan memotret, ternyata agak ribet juga ya kalau bawa tripod kedalam kabin pesawat. Karena setelah menuju ruang tunggu, aku harus balik lagi ke konter bagasi untuk memasukkannya menjadi bagasi. Hal sepele ini terjadi dikarenakan tripod adalah barang yang izinnya sangat terbatas untuk bisa dimasukkan kabin.
Well per-tripod-an ini cukup menyita waktu juga, karena saat aku kembali ke ruang tunggu ternyata sudah hampir memasuki jam boarding.

Oh iya! Hampir terlupa, aku melakukan perjalanan liburan musim dingin ini bersama salah seorang kawan yang aku kenal akrab dari masa kuliah S2 ku. Dia junior di kampus sehingga lebih muda beberapa tahun dibawahku. Kami cukup akrab karena tiga tahun yang lalu kami juga melakukan perjalanan keliling Asia Tenggara, bersama dengan lima orang kawan kami yang lain. Namanya Hani, gadis yang aku tahu sangat periang dan mungkin kalau kisah perjalanan kami ditulis bentuk buku, bisa dijadikan dua atau tiga novel hahaha. Kami berangkat dari bandara yang sama karena memang aku dan Hani berasal dari propinsi yang sama.
Perjalanan kali ini jelas memang Hani pahlawannya. Kau akan tahu alasannya kenapa, nanti saat part demi part cerita ini kutulis lengkap.

Kami menggunakan maskapai milik negara tetangga, sehingga kami harus transit sebentar di negara tersebut untuk lanjut ke Jepang. Waktu boarding sudah lewat setengah jam dan tidak ada tanda pesawat kami akan boarding. Seharusnya saat magrib kami sudah di atas awan tetapi hingga adzan berkumandangpun, kami belum mendapatkan kabar.

Saat kami putuskan untuk sholat magrib, di mushola ruang tunggu kami bertemu dengan seorang gadis lain yang satu pesawat dengan kami. Dia tetiba mengajak kami makan malam karena kata dia gerai makanan berat di ruang tunggu ini punya batas minimal pembelian menggunakan kartu gesek. Aku iyakan ajakannya, yang berakhir kami ngobrol cukup lama dengan gadis ini.

Aku dan Hani cukup kaget dengan cerita si gadis dari ibukota yang sedang makan malam bersama kami ini. Dia seorang mahasiswa baru, masih semester dua fakultas kedokteran di salah satu universitas negeri ibukota propinsi. Dia sudah menikah dan suaminya sedang berobat di negara tetangga tempat kami transit ini. Aku dan Hani saling lempar lirikan yang artinya cuma satu, kisah hidup si adek ini cukup mewarnai keberangkatan kami ke Jepang.
Saat pesawat lepas landaspun kami tidak perhatikan dimana duduknya si gadis calon dokter ini. Kami sudah cukup waswas karena takut ketinggalan pesawat menuju Jepang yang jarak transitnya cuma tiga jam saja dari jam landing kami semula.

Tepat saat kami masuk ruang tunggu keberangkatan menuju ke Tokyo, panggilan boarding barusaja masuk di layar petunjuk. Belum sempat mengagumi betapa canggihnya bandara internasional negara tetangga ini, saya sudah berada di pesawat menuju Jepang.
Dengan durasi perjalanan udara yang cukup panjang yakni tujuh jam, pesawat yang kami tumpangi cukuplah membuat kami berdecak kagum. Meski kelas ekonomi kami merasa sangat nyaman berada di pesawat ini. Apalagi Hani yang kebetulan mendapatkan tempat duduk kosong disebelahnya sepanjang perjalanan. Hani si tukang tidur itu, menikmati malam perjalanan udaranya menuju musim dingin dibelahan utara asia, kota Tokyo.

Aku habiskan tujuh jam itu untuk menonton film, memutar album musik lagu favoritku di playlist yang disediakan maskapai, dengan mulut tak henti bersyukur dan berdoa.. Tuhan terima kasih untuk mimpi yang Kau izinkan terwujud sebentar lagi ini. Aku sempat diam sejenak, berulang kali meneteskan air mata, terharu oleh perjalanan ini, yang mana sesi senduku terus menerus diinterupsi oleh para pramugari. Meski perjalanan udara kami lakukan tengah malam, kami masih difasilitasi dua kali makan berat dan sekali cemilan. Bagaimana bisa tidur kalau sebegini sering kami diberi fasilitasnya? Hehe.

Tak hentinya aku bersyukur untuk ini. Hingga subuh tiba, dan kami bersiap mendarat di Jepang.

Sepuluh Juta Detik Luka

Panjang sekali jalan yang harus ditempuh untuk mencapaimu
Pun itu tidak gampang, banyak nyawa terkorbankan dan luka hati tergores menujunya

Saat sudah kutempuh dan kau kutemui, aku tersadar
Hati ini tidak seharusnya tertinggal kurus disini
Hati ini tidak perlu setinggi itu mengangkat dan menjunjungmu
Karena ternyata...kau hanya persinggahan labilnya isi kepalaku

Aku memutuskan untuk mengalah dari suara dalam penuh sesaknya isi kepala
Dan sepakat dengan suara yang lain dalam kepala
Iya.. inilah caraku mencintaimu

Wow sejauh ini dan aku baru mengetahuinya?
Menyesakkan sekali!
Dan sekuat apapun aku menolaknya...aku masih memilih untuk bertolak padamu
Lihatlah betapa bodoh aku kau buat

Kadang, hari-hari biasa aku ingin menceritakan semua padamu
Hari berakhir, dan tenggorokanku tercekat dengan kepala penuh bimbang padamu
Sambil berpikir
Haruskah aku berbagi perjalanan sepuluh juta detik denganmu?
Sementara mungkin, kau ingin membagi ceritamu bukan denganku
Iya, bukan denganku kau ingin membaginya
Iya, aku bukan pilihanmu untuk bercerita
Dan aku pergi mencoba menjauh darimu
Dengan perlahan tumbuh rasa rindu yang menyakitkan
Hanya untuk melalui hari ini tanpa sederhanamu di jenjang waktuku

Aku ingin melupakanmu...membuatmu jauh... agar aku tidak terluka
Berusaha sangat keras untuk lupa
Sama kerasnya dengan jemari ini mengabadikanmu dalam kepalaku

Kamu bukanlah siapapun..
Dan tidak seharusnya menjadi seseorang dalam sepuluh juta detikku
Tapi detikku memilih untuk terus membimbangkanmu.

Dan disini sekarang aku dengan gila merasa rindu
Rindu yang tidak akan pernah mampu aku utarakan

Nyawaku hanya satu
Hidupku cuma satu
Dan..
Sepuluh juta detiknya ternyata untukmu.