27 Feb 2012

Sang Ksatria Perjalanan

Segala yang kau miliki, semua yang ada disekitarmu begitu indah..
Mereka tak kan berhenti memujimu,
Diam-diam mengagumi sikap dan sifatmu yang sungguh menjadi satu diantara seribu..
Memberikan pilihan yang tak pernah menyakitkan..
Surga, serta segala hal yang menjadi isinya..

Aku hanyalah hembusan pelan angin yang lewat,
Mencoba menyentuh wajah itu, namun norma melarangku..
Mencoba kembali kearah dimana kau sedang termenung merenungkan satu sajak hidup,
Tapi pusaran indukku menarik badan ini menjauh..
Sungguh seluruh kenyataan hidup memintaku untuk mundur,
Agar tak lagi melihat sang surya terbit untuk memberi hormatnya pada kharismamu yang sungguh luar biasa, duhai Ksatria Perjalanan..

Maaf atas semua ini,
Segala hal ini..sungguh ingin kuperjelas..
Namun dayaku tak ada..
Kekuatanku tak lagi perkasa,
hanya untuk menjelaskan dan membuat kau, sang Ksatria Perjalanan, mengerti apa yang coba kuutarakan dari isi hatiku..

Luka, terlalu banyak luka..
Tersayat, dan sakit..telah seringkali kupasrah.. Dia sembuh dengan sendirinya..
Seandainya kau melihat betapa kekuatan itu mampu memutarbalikkan dunia,
merobek dinding karma yang selama ini menjadi sumber ketakutanku yang luar biasa..
Sehingga setiap harinya aku masih berani untuk sekedar menyapa dan mengagumi dirimu..

Kisah ini, hanya akan tertulis diatas perkamen hati hembusan angin,
Satu hal yang tak akan memiliki arti bagi Sang Ksatria Perjalanan..
Sebuah hal yang tak mungkin akan tersebut dari genggaman pena sang Ksatria,
untuk mengukir kisah perjalanannya..

Hingga senja berganti berulang kali,
hembusan angin hanyalah sekedar hembusan yang tak berarti..
Belum mampu menyampaikan,
belum tertakdirkan untuk mampu mengutarakan,
juga belum diciptakan..
Untuk mengungkapkan rasa kagum terdalamnya pada Sang Ksatria Perjalanan..
Sang Pemilik Senyum Tercerah Sepanjang Masa, baginya..

posted from Bloggeroid

Sebuah Sajak Sederhana Dari Hati

Setiap dia datang dan saya diam,
maka kami membuat dunia menanyakan berbagai pertanyaan..
Ketika waktu berlalu..pergi,
kami masih tak mampu memahami satu sama lain..

Terkadang aku harus berdiri sendiri,
dari perasaan yang tidak dapat aku mengerti..
Memaksakan paham, selebihnya bimbang.

Antara takut kecewa, terbawa trauma,
dan juga dorongan kuat untuk tetap bertahan dan menunggu..
Selebihnya pilihan2 kecil tak berarti..

Kira-kira, apa dia tau ya, apa yang membuatku bertahan?
Apa dia merasa ya, kalau selama ini kebaikannya selalu memberikan aku kekuatan?
Kekuatan yang melahirkan harapan,
Dan membuat dia selalu berharga di mataku..
Pelan-pelan, dia adalah segalanya.
perlahan, dia arti seluruh hidup saya..

Tuhan.. apa yang harus kulakukan?
Pertanyaan yang selalu ada di alam nyata dan bawah sadar..
Memaksakan untuk dijawab,
tapi belum juga kutemukan jalan untuk menjawabnya..
:-(

17 Feb 2012

Bagiku Cinta

Selayaknya guguran daun yang menanti kesetiaan angin untuk meniupnya,
sang penghantar yang akan selalu ada..
Sesimpel itulah cinta.
Semudah warna pagi berganti senja, rona malu-malu kemerahan yang manis,
berterimakasih pada sinar pagi surya yang menggantikan tempatnya selama sehari penuh..
Semudah itulah cinta.
Satu helaan nafas untuk menahan amarah, diujung kelelahan selepas kau bekerja.
Senyum itu masih terbagikan..
sesejuk itulah cinta meredakan hausmu.


Tapi,
memaksakan senyum kebohongan saat kau tak dapat menerima,
namun kau berkata "iya tidak apa.."
itulah letak pengorbanan cinta yang menyakitkan.
Berkata "aku baik saja..",
juga tidak pernah mengagumi sifat dan sikap dia yang selalu berlawanan dengan kebiasaan,
namun aku selalu tertawa mendengar candaannya.
Disini cinta membuat otak terbalik bagi semuanya..
Menggumam, tersenyum sendirian tanpa ada yang ingin berbagi,
bahkan selalu bertanya apa yang dilakukannya disana tanpa pernah mendapatkan jawaban,
karena bukan siapapun aku ini baginya.
Disitulah bodohnya cinta.
Pretending itu bukan apapun, tidak berarti apapun,
bahkan bukan merupakan sebuah hal yang penting bagiku,
disini aku sudah mulai bermain api dengan perasaanku sendiri.

Diakhir hari aku sadar bahwa ternyata cinta bagiku adalah menunggu.
Menunggu waktu..saat yang tepat. sekaligus melupakan dan menyembuhkan.

YEESSS, time will heal.
Let it be,
:)

13 Feb 2012

Mencoba Sabar Itu Tidak Mudah

Banyak hal didunia berjalan dan berubah tanpa terasa. Wajah yang menua, perasaan yang rapuh, dan juga waktu yang tak pernah kembali. Segala kejadian bukan kita yang mengatur, sehingga kita hanya dapat mengembangkan imaji dan keinginan kita pada tahap merancang, tanpa bisa memutarbalik timeline.
Saya seorang cewe dengan sifat yang majemuk, namun kebanyakan menjemukan. Butuh kesabaran untuk memahami pikiran saya, sifat saya, dan kelakuan yang kadang tak dapat dipahami.
Namun sebagai manusia, wajarlah apabila ingin dipahami. Wong sama-sama hidup lo.. Begitulah pola pikir standartnya.
Banyak pendapat mengenai diri saya, salah satu yang paling sering adalah sifat saya yang moody. Terkadang dapat begitu sedih, terkadang begitu senang. Sifat ini juga memuakkan bagi sebagian orang yang memiliki sifat kaya saya..sama-sama keras kepala dan kurang bisa menerima kritik.
It's just about the time.
Benar saja adanya, beberapa waktu lalu saya sempat bertemu dengan seorang yang memiliki anugerah mind-reader pada dirinya. Saya sempat tak percaya pada penjelasannya mengenai diri saya. Tapi lama kelamaan saya dapat menerima pendapat orang tersebut, dengan anggapan realistis yang positif..yakni ingin merubah diri dan sifat menjadi lebih baik.
Orang tersebut berkata saya kurang sabar jika sedang dikendalikan emosi. Saya lalu berpikir, seringkali saya seperti itu, dan ujung-ujungnya pasti menyesali diri. Yap, beliau berkata tidak mudah. Hal yang perlu dilakukan hanya diam, dan menahan keinginan saya untuk komentar. Jika masih sulit dilakukan, saya diminta berandai-andai apabila saya berada diseberang bagian yang sedang saya lawan..insyaAllah akan menemukan sabar dan keikhlasan disana.
Termasuk seringkali saya berpikir mengenai kesalahan yang bukan merupakan sebuah kesalahan sebenarnya, namun saya tetap merasa serba salah hingga dibuat pusing oleh hal yang tidak dipikir terlalu dalam..salah satu kekurangan saya yang belum saama sekali saya sadari.
Sekarang saya sedang belajar mencoba merubah kebiasaan setir-oleh-emosi ini. Semoga dapat segera teratasi. May God be with me :)

posted from Bloggeroid

7 Feb 2012

Dialah Tauladan

Dear adikku,
Tak terasa sudah jauh langkah yang kau tempuh. Sekian lamanya sampai aku tak menyadari begitu cepat kau tumbuh. Merasakan indahnya hidup dari matamu, tak ubahnya melihat caramu melawan dunia..

Hai Dik,
Masih ingatkah lagu pertama kita? Cerita anak manusia dengan hentakan kakinya.. Mengepalkan debu tinggi-tinggi di udara.. Dan sempat kulihat kau begitu bahagia, tertawa atas cerita..
Setidaknya aku jadi tahu, seperti apa kau akan menjadi seseorang kelak. Benak ini sudah penuh kekaguman, dan juga harapan yang sarat akan doa, semoga kau nanti sebahagia itu.
Masih sangat jelas tergambarkan kenangan-kenangan itu Dik, saat kicau burung dan ramainya gemerisik angin padang mengantar kita menuju petualangan panjang. Perjalanan menuju tempat impian. Langkahmu yang lebar sungguh tak sepadan dengan telapak kaki kecil ini, aku tertinggal jauh.. Hingga saat sampai kau kebingungan mencariku yang jauh tertinggal dibelakang. Lucunya wajahmu saat itu, merah, biru, hijau, gelap, kawatir, malah kusambut sendiri kehadiranku disana dengan terkekeh.

Kita tumbuh dengan cara kita masing-masing pada akhirnya. Kau dijalanmu, aku? Bingung memilih kini, terlalu bersimpang jalan ini. Aku bingung, dan tiba-tiba tergingat tentangmu. Seorang berjiwa muda yang tak kenal kata menyerah. Entah, ternyata mencoba menjadi posisimu perlu waktu lama ya? Seseorang sepertimu sudah mulai memahami hidupmu sendiri bahkan sejak kau belum mengenali tempatmu bergerak, lingkungan dan segala hal yang menekan langkah. Aku malah berpikir kebalikan Dik. Kita berbeda jalan karena berbeda cara. Setidaknya inilah akar dari penyesalanku kini.

Kau seorang adikku yang sangat baik. Kau mengagumiku dulu, meniru segala gerakanku.
Sekarang saatnya aku belajar dari caramu berdiri setelah jatuh, Dik. Belajar bagaimana memahami diri sendiri sebelum nantinya aku akan berkeras melawan arah, mencoba menekan arus seperti yang kamu lakukan. Seperti yang telah biasa kamu lakukan setiap saat. Bukankan kita bisa karena terbiasa? Seharusnya aku memahaminya saat kau belum bisa mengerti. Tapi ternyata kau lebih bisa tertawa diatasnya, lama setelah aku terpuruk semakin dalam dari jurang kesalahanku sendiri.

Alas kaki itu, yang selalu kita gunakan bergantian pergi ke masjid, kau Maghrib dan aku Isya. Aku maghrib dan kau tertidur saat adzan Isya. Kejadian yang menurut statistika tidak perlu mengalami perulangan, tetapi kau melakukannya terus menerus. Hingga akhirnya datang alas kaki lain untuk membuatmu bertahan dari rasa kantuk setelah mengaji. Alas kaki yang sama juga menjadi alasan logis kau tidak dapat tertidur saat waktu berjamaah tiba.  
Aku mengenangnya sebagai kemenanganku atasmu Dik, keunggulanku dari sosokmu. Tapi tidak untuk hal lain. Tidak dalam hal apapun. Hebatnya aku bahagia, satu banding sejuta kelebihanmu. Mungkin karena terlalu terpatri, bahwa hal yang kau lakukan adalah mencontohku. Meskipun tiada sudut pandang yang melegalkan pemikiran semacam itu. Aku bahagia, cukup bahagia menjadi satu bagian hidupmu. Bahagia menjadi kepingandari berjuta keping yang kau kumpulkan saat kau dalam masa tumbuh dan berkembang.

Lama sudah kita tak berjumpa. Secarik kertas yang kupegang ini, surat terakhir darimu. Perjumpaan terakhir yang sangat lama berselang membuatku sempat tidak percaya, inikah tulisan tanganmu kini?
Tapi aku terlama setelahnya, baru sadar diakhir bait kalau ini memang bukan tulisanmu Dik.  Memang bukan. Seseorang telah menuliskannya untukmu dikertas ini.
Lagi-lagi aku merasa bodoh, tidak sehebat kamu yang mengenal kehidupan diluar sana dengan sangat baik. Mengenal surat elektronik yang mereka sebut e-mail, barang elektronik yang jauh lebih bergambar daripada televisi usang Abah yang hanya punya satu saluran televisi, Televisi Republik Indonesia. Merasa sangat bodoh, dan sekaligus merepotkan dirimu Dik. Sempat berpikir dan bersalah sudah membuatmu kerepotan.

Dik, kakak kangen.
Jonggring Saloka
Adikku, meski kita tidak keluar dari rahim yang sama, aku masih merasa kau lebih dari banyak orang lain yang kini menjadi adik-adikku. Kita pernah punya cerita yang bagus kalau dijadikan sebuah buku cerita Dik. Kita pernah punya mimpi yang sama,. Meski hanya kau yang mampu meraihnya, aku tetap bangga karena aku pernah punya mimpi seperti yang kau punya dikepalamu. Isi kepala kita sempat sama, dan aku sangat bangga memiliki momen-momen itu Dik. Kau dan kehadiranmu sangat mewarnai hidup. Kau harus tau itu dan seharusnya tau. Sayangnya aku belum sempat menyampaikannya.

Kertas itu, kertas yang kuhempaskan, bersamaan menghujam ingatan dengan kabar kecelakan yang kau alami disana. Kecelakaan yang membuatmu gegar otak sebelum akhirnya kau pergi selamanya. Aku kurang tau persis, dan meskipun aku sangat ingin tau namun aku tak lagi dapat menanyakannya langsung padamu Dik.

Seketika kertas itu kuremas habis, dalam diam aku menangis.

Kenapa Dia mengambilmu Dik?
Apa tidak boleh aku bertemu adikku dan berbagi cerita lagi seperti dulu?
Mengapa harus dengan cara ini adikku pergi?
Apakah kesalahanku dimasa lalu hingga aku tak memiliki kesempatan untuk berjumpa dengannya?

Seseorang yang menjadi inspirasiku hidup. Seseorang yang berkata, akulah inspirasinya berjuang.
Berjuta pertanyaan mendesak keluar dari otak, tapi aku hanya dapat meluapkannya dengan tangisan. Aku tahu, pilunya hati ini tidak akan pernah terbalas dan terobati hingga sembuh.

Tuhan, adikku belum sempat memberiku apapun dari sana. Akupun tak pernah tau apa yang dilakukannya dikota. Satu-satunya hal yang kutahu hanyalah secarik kertas tertulis tangan ulang oleh seorang kawannya dari kota, yang memberiku informasi bahwa ini adalah salah satu e-mail yang rencananya akan adikku kirim padaku, berharap suatu saat aku memiliki sebuah e-mail  dan kami bisa saling berbalas, begitu kata pengantarnya.
Tuhan, maaf jika aku meneteskan air mata lagi. Aku sangat merindukan adikku. Sekian lama kami tak berjumpa, tentu saja banyak hal berubah dari dia.
Lihatlah Tuhan, dia tak lagi nakal seperti dulu. Dia telah menjadi seseorang, seperti yang aku dan adikku pernah angan-angankan. Apakah Engkau marah padaku? Adakah aku melakukan kesalahan dimasa laluku Tuhan?
Kubaca isi kertas itu sekali lagi. Meskipun semakin kubaca, lukaku semakin sakit, aku tak peduli. Semua ini kulakukan agar aku dapat menghapus penyesalanku, penyesalan yang menusuk karena aku tak pernah ingin mengunjunginya ke kota saat Adik masih ada dulu.
Kusadari aku hanya melakukan hal yang sia-sia. Apa yang kutangisi hanya hal-hal yang telah lalu. Kemudian aku mulai merasa bodoh lagi. Jikalau adik melihatku kini, dia tak akan pernah menyukainya.

Meskipun dengan menangis, akhirnya aku tersenyum menatap pusaranya yang telah berdiam sekian lama disitu. Lama aku saling pandang dengan pusara itu, sambil membayangkan aku sedang bersama sosok adik. Mencoba memahami cara pikirnya, mencoba menjadi pribadi seperti dia. Sebenarnya tidak rumit karena kami tumbuh bersama. Sambil mengirimkan beberapa bait doa, aku bersyukur pada Tuhan atas kemenanganku yang telah berhasil mengikhlaskan kepergiannya.
Lihat apa yang adikku berikan untuk padepokan. Dia menjadikan tempat ini sebagai terminal ilmu, sumur penyejuk rohani bagi banyak orang yang datang. Kesuksesannya menjadi seorang pengusaha muda dikota membuat banyak orang penasaran asal-usulnya. Seketika padepokanpun ramai dengan orang-orang yang ingin menjadi seperti dia, menjadi seperti adikku yang kubanggakan.
Adik yang kucintai, dan akan selalu kurindukan.

Setelah ini aku akan meminta Abah mengabadikan nama almarhum Adikku menjadi seseorang uswatun hasanah (suri tauladan yang baik).


Selesai.