Dear adikku,
Tak terasa sudah jauh langkah yang kau tempuh. Sekian lamanya sampai aku tak menyadari begitu cepat kau tumbuh. Merasakan indahnya hidup dari matamu, tak ubahnya melihat caramu melawan dunia..
Hai Dik,
Masih ingatkah lagu pertama kita? Cerita anak manusia dengan hentakan kakinya.. Mengepalkan debu tinggi-tinggi di udara.. Dan sempat kulihat kau begitu bahagia, tertawa atas cerita..
Setidaknya aku jadi tahu, seperti apa kau akan menjadi seseorang kelak. Benak ini sudah penuh kekaguman, dan juga harapan yang sarat akan doa, semoga kau nanti sebahagia itu.
Masih sangat jelas tergambarkan kenangan-kenangan itu Dik, saat kicau burung dan ramainya gemerisik angin padang mengantar kita menuju petualangan panjang. Perjalanan menuju tempat impian. Langkahmu yang lebar sungguh tak sepadan dengan telapak kaki kecil ini, aku tertinggal jauh.. Hingga saat sampai kau kebingungan mencariku yang jauh tertinggal dibelakang. Lucunya wajahmu saat itu, merah, biru, hijau, gelap, kawatir, malah kusambut sendiri kehadiranku disana dengan terkekeh.
Kita tumbuh dengan cara kita masing-masing pada akhirnya. Kau dijalanmu, aku? Bingung memilih kini, terlalu bersimpang jalan ini. Aku bingung, dan tiba-tiba tergingat tentangmu. Seorang berjiwa muda yang tak kenal kata menyerah. Entah, ternyata mencoba menjadi posisimu perlu waktu lama ya? Seseorang sepertimu sudah mulai memahami hidupmu sendiri bahkan sejak kau belum mengenali tempatmu bergerak, lingkungan dan segala hal yang menekan langkah. Aku malah berpikir kebalikan Dik. Kita berbeda jalan karena berbeda cara. Setidaknya inilah akar dari penyesalanku kini.
Kau seorang adikku yang sangat baik. Kau mengagumiku dulu, meniru segala gerakanku.
Sekarang saatnya aku belajar dari caramu berdiri setelah jatuh, Dik. Belajar bagaimana memahami diri sendiri sebelum nantinya aku akan berkeras melawan arah, mencoba menekan arus seperti yang kamu lakukan. Seperti yang telah biasa kamu lakukan setiap saat. Bukankan kita bisa karena terbiasa? Seharusnya aku memahaminya saat kau belum bisa mengerti. Tapi ternyata kau lebih bisa tertawa diatasnya, lama setelah aku terpuruk semakin dalam dari jurang kesalahanku sendiri.
Alas kaki itu, yang selalu kita gunakan bergantian pergi ke masjid, kau Maghrib dan aku Isya. Aku maghrib dan kau tertidur saat adzan Isya. Kejadian yang menurut statistika tidak perlu mengalami perulangan, tetapi kau melakukannya terus menerus. Hingga akhirnya datang alas kaki lain untuk membuatmu bertahan dari rasa kantuk setelah mengaji. Alas kaki yang sama juga menjadi alasan logis kau tidak dapat tertidur saat waktu berjamaah tiba.
Aku mengenangnya sebagai kemenanganku atasmu Dik, keunggulanku dari sosokmu. Tapi tidak untuk hal lain. Tidak dalam hal apapun. Hebatnya aku bahagia, satu banding sejuta kelebihanmu. Mungkin karena terlalu terpatri, bahwa hal yang kau lakukan adalah mencontohku. Meskipun tiada sudut pandang yang melegalkan pemikiran semacam itu. Aku bahagia, cukup bahagia menjadi satu bagian hidupmu. Bahagia menjadi kepingandari berjuta keping yang kau kumpulkan saat kau dalam masa tumbuh dan berkembang.
Lama sudah kita tak berjumpa. Secarik kertas yang kupegang ini, surat terakhir darimu. Perjumpaan terakhir yang sangat lama berselang membuatku sempat tidak percaya, inikah tulisan tanganmu kini?
Tapi aku terlama setelahnya, baru sadar diakhir bait kalau ini memang bukan tulisanmu Dik. Memang bukan. Seseorang telah menuliskannya untukmu dikertas ini.
Lagi-lagi aku merasa bodoh, tidak sehebat kamu yang mengenal kehidupan diluar sana dengan sangat baik. Mengenal surat elektronik yang mereka sebut e-mail, barang elektronik yang jauh lebih bergambar daripada televisi usang Abah yang hanya punya satu saluran televisi, Televisi Republik Indonesia. Merasa sangat bodoh, dan sekaligus merepotkan dirimu Dik. Sempat berpikir dan bersalah sudah membuatmu kerepotan.
Dik, kakak kangen.
|
Jonggring Saloka
|
Adikku, meski kita tidak keluar dari rahim yang sama, aku masih merasa kau lebih dari banyak orang lain yang kini menjadi adik-adikku. Kita pernah punya cerita yang bagus kalau dijadikan sebuah buku cerita Dik. Kita pernah punya mimpi yang sama,. Meski hanya kau yang mampu meraihnya, aku tetap bangga karena aku pernah punya mimpi seperti yang kau punya dikepalamu. Isi kepala kita sempat sama, dan aku sangat bangga memiliki momen-momen itu Dik. Kau dan kehadiranmu sangat mewarnai hidup. Kau harus tau itu dan seharusnya tau. Sayangnya aku belum sempat menyampaikannya.
Kertas itu, kertas yang kuhempaskan, bersamaan menghujam ingatan dengan kabar kecelakan yang kau alami disana. Kecelakaan yang membuatmu gegar otak sebelum akhirnya kau pergi selamanya. Aku kurang tau persis, dan meskipun aku sangat ingin tau namun aku tak lagi dapat menanyakannya langsung padamu Dik.
Seketika kertas itu kuremas habis, dalam diam aku menangis.
Kenapa Dia mengambilmu Dik?
Apa tidak boleh aku bertemu adikku dan berbagi cerita lagi seperti dulu?
Mengapa harus dengan cara ini adikku pergi?
Apakah kesalahanku dimasa lalu hingga aku tak memiliki kesempatan untuk berjumpa dengannya?
Seseorang yang menjadi inspirasiku hidup. Seseorang yang berkata, akulah inspirasinya berjuang.
Berjuta pertanyaan mendesak keluar dari otak, tapi aku hanya dapat meluapkannya dengan tangisan. Aku tahu, pilunya hati ini tidak akan pernah terbalas dan terobati hingga sembuh.
Tuhan, adikku belum sempat memberiku apapun dari sana. Akupun tak pernah tau apa yang dilakukannya dikota. Satu-satunya hal yang kutahu hanyalah secarik kertas tertulis tangan ulang oleh seorang kawannya dari kota, yang memberiku informasi bahwa ini adalah salah satu e-mail yang rencananya akan adikku kirim padaku, berharap suatu saat aku memiliki sebuah e-mail dan kami bisa saling berbalas, begitu kata pengantarnya.
Tuhan, maaf jika aku meneteskan air mata lagi. Aku sangat merindukan adikku. Sekian lama kami tak berjumpa, tentu saja banyak hal berubah dari dia.
Lihatlah Tuhan, dia tak lagi nakal seperti dulu. Dia telah menjadi seseorang, seperti yang aku dan adikku pernah angan-angankan. Apakah Engkau marah padaku? Adakah aku melakukan kesalahan dimasa laluku Tuhan?
Kubaca isi kertas itu sekali lagi. Meskipun semakin kubaca, lukaku semakin sakit, aku tak peduli. Semua ini kulakukan agar aku dapat menghapus penyesalanku, penyesalan yang menusuk karena aku tak pernah ingin mengunjunginya ke kota saat Adik masih ada dulu.
Kusadari aku hanya melakukan hal yang sia-sia. Apa yang kutangisi hanya hal-hal yang telah lalu. Kemudian aku mulai merasa bodoh lagi. Jikalau adik melihatku kini, dia tak akan pernah menyukainya.
Meskipun dengan menangis, akhirnya aku tersenyum menatap pusaranya yang telah berdiam sekian lama disitu. Lama aku saling pandang dengan pusara itu, sambil membayangkan aku sedang bersama sosok adik. Mencoba memahami cara pikirnya, mencoba menjadi pribadi seperti dia. Sebenarnya tidak rumit karena kami tumbuh bersama. Sambil mengirimkan beberapa bait doa, aku bersyukur pada Tuhan atas kemenanganku yang telah berhasil mengikhlaskan kepergiannya.
Lihat apa yang adikku berikan untuk padepokan. Dia menjadikan tempat ini sebagai terminal ilmu, sumur penyejuk rohani bagi banyak orang yang datang. Kesuksesannya menjadi seorang pengusaha muda dikota membuat banyak orang penasaran asal-usulnya. Seketika padepokanpun ramai dengan orang-orang yang ingin menjadi seperti dia, menjadi seperti adikku yang kubanggakan.
Adik yang kucintai, dan akan selalu kurindukan.
Setelah ini aku akan meminta Abah mengabadikan nama almarhum Adikku menjadi seseorang uswatun hasanah (suri tauladan yang baik).
Selesai.