Kembali
lagi ke lembaran berhiaskan aroma abu-abu.
Lembaran
dimana semua yang nampak dimata berwarna sama, warna yang masih kubenci. Bukan
abu-abu, tapi hijau temaram yang sedih.
Warna itu
yang selama ini menjadi warna favorit(–terbohong-)ku. Hijau yang
jelek, tidak berharapan, hijau yang memuakkan.
Itu.. Warna
favoritmu yang menjadi warna yang kubenci. Sesungguhnya
aku benci kamu apa warna favoritmu? Entah ya..
Bisa jadi itu keduanya.
Aku memilih
untuk memilihmu. Pilihanku
jelas kemarin, mendiamkanmu. Sambil kudiamkan. Berusaha menyulam sakit dipangkal leher dengan sisa-sisa senyumku. Senyumku
ternyata menarik sedikit otot-ototku, membuat luka itu sakit lagi. Alih-alih sembuh,
dia tetap menganga walau tak kasat dimata.
Kenapa
sajakku hanya tentang luka? Entah.
Aku
menikmati luka, mungkin.
Sama, mirip
halnya, ketika aku mulai mencintai waktu-waktu dimana aku sedang sendiri. Sendiri dan
sakit hati. Hujan
datang, dan semakin benci.
Semua ada
sebabnya, mengapa Dia mempertemukan kita waktu itu.
Kenapa kau
tetap disana meski aku tidak menginginkanmu, dan kenapa
kau diam-diam memikirkanku meski itu nyata tidak perlu. Ah, kok
bisa aku tau?
Haha.
Mungkin angin yang membawa virus kegilaan padaku.
Atau
mungkin itu nyata? Nyata aku ada dikepalamu? Sebagai apa? Kalau hanya
sebagai batu ginjal, maka buanglah. Aku
hanyalah sesuatu yang tidak nyata dihidupmu.
Namun, kau
selalu nyata di doaku. Jika kau ingin tahu.
Ada
kata”terimakasih” yang belum sempat aku ucapkan dengan bibirku. Ada kata
”maaf” karena sikapku yang selalu kasar saat kita sedang dalam satu mimbar yang
sama. Apakah aku
dimaafkan olehmu? Semoga aku dimaafkan olehmu.
Ada sebagian orang yang membiarkan hidupnya bahagia dengan sendirinya. Sebagian orang disisi lainnya, berusaha sekuat tenaga membuat agar hidupnya bahagia.
Aku bagaimana?
Nampaknya aku berdiri menggigil diantara emosi-emosi yang lahir diantara keduanya.
Nampaknya aku berdiri menggigil diantara emosi-emosi yang lahir diantara keduanya.
Aku. Menggigil
membutuhkanmu.
Membutuhkan
saran-saran bodohmu yang dulu selalu kutertawakan dengan sinis.
Aku. Memanggil
namamu.
Aku, yang
tidak tahu sedang di sisi mana dirimu berada.
Aku, yang
terlalu licik untuk bergerak mengarah ke salah satu sisi. Mengkhawatirkan
keadaanku yang nanti mungkin gagal menemukanmu.
Aku. Mungkin dilarang Tuhan menemukanmu.
Aku. Mungkin dilarang Tuhan menemukanmu.
Mungkin saja
kau sedang berusaha untuk membahagiakan hidupmu, keluargamu, cita dan cintamu.. Berusaha mati-matian
untuk membahagiakan lingkungan sekitarmu.
Surga itulah
yang engkau tuju.
Atau mungkin
saja kau sedang menikmati hidup.
Sambil bersantai
menikmati kopi sore, membaca buku fiksi favoritmu. Berkawan sepiring gorengan hangat. Membiarkan hidup
mengalir, bagai sungai yang tenang dimusim pergantian kemarau.
Aku. Menggigil
memanggil namamu. Merindukan
mungkin. Terluka untuk merindukan.
Bukan rindu
hingga terluka. Bukan. Bukan!
Bertanya pada
udara kosong. Berteriak pada dinding lapuk. Mencoret-coret
kertas yang sudah robek. Mencoba menulis
sesuatu tentangmu. Namun inilah
yang muncul dari tanganku.
Akankah aku
dimaafkan?
#AbsurdDay