22 Jul 2014

Sampai Jumpa Disana

Salam.

Tiba-tiba ingin banget nulis disini soal Abah.
Tak terasa sudah bertahun lamanya kami tidak lebaran bersama sosok beliau.

Inilah aku, sedang perjalanan menuju rumah dari kota kenangannya, Yogyakarta, yang tidak pernah kubayangkan bisa melanjutkan jejak beliau disana.

Ayah, Ayah, terimakasih.. kau beri aku cinta.
Ayah, Ayah, terimakasih.. ajarkan aku hidup.

Sampai sekarang nama beliau masih terukir dihati, meski nisannya berlumur lumut hingga tak mampu satu huruf pun bertengger disitu.
Sampai sekarang masih aku rindu tuk pulang dan berbincang dengannya dalam hening, meski yang teringat adalah saat sejengkal tanah tersebut basah dan jasadnya baru saja selesai dikebumikan.

Abah, Fiya kangen.
Apa yang bisa Fiya beri untuk mengobatinya?

Abah, Fiya kangen.
Apa ya? Yang mampu menyamakan bangganya Fiya memiliki nama indah ini..karena ini cuma satu-satunya warisan tak ternilai yang masih bisa Fiya nikmati hingga seperempat abad umur ini.

Abah, terimakasih. Sudah begitu sayang dan menyayangi Fiya.
Sudah sekuat tetes darah terakhir membahagiakan Fiya.
Andai Abah masih ada, Fiya ingin berbagi bahagia kami ditiap Idul Fitri yang kami lalui.
Ingin sekali satu mimbar sujud denganmu. Ingin menikmati indahnya dunia disisa hidup. Ingin tertawa lagi bersama...ingin belajar bahasa Jambi dengan Abah.
Banyak sekali yang belum Fiya mampu sampaikan langsung.

Abah... sampai jumpa disaat nanti semua rindu ini terbebaskan.
Sampai jumpa disana Bah.

Allah selalu bersamamu.

21 Jul 2014

Maka Ternyata.

Kamu selalu membawa-bawa nama malam dan menyalahkannya atas mimpi yang hadir tanpa kamu rencanakan.
Tapi mengapa itu sungguh mengganggumu dihari setelahnya? Mengancurkan senyum yang biasa kulihat.
Hingga akhirnya kupaksakan untukmu menariknya, bibirmu dua senti ke kanan dan kiri.

Well, aku menjadi orang yang aneh untuk selalu tahu.

Hanya tersisip diantara sejengkal waktumu di kota ini. Tidak akan begitu penting, dan tidak pula penting dimataku. Kau berkata, kau tidak ingin lama-lama disini. Begitupun hati yang sedang kau ajak berbincang.

Tapi takdirnya berjalan lain kebelakang beberapa saat.
Gambaran itu menjadi sangat jelas. Betapa hati sakit, terluka, dan mencoba bangkit dengan lupa.
Melupakan dengan berjalan diantara pecahan kaca....ehm, pecahan kenangannya dan diriku mungkin.

Aku sudah lama melupakannya. Melupakan dia ternyata tidak begitu berat seperti yang pernah kukeluhkan pada angin.
Ternyata memang bukan cinta. Itu hanya peduli yang sementara.
Dimana dong jadinya, cinta? Sebelah mana yang kau sebut cinta?
Entah.

Sesaat hati ini merasa bukanlah hati. Tiba-tiba ada yang tanya dari ujung terang sebelah sana..
Lho apa ini? Jangan-jangan aku tak berhati?
Begitulah kepala bertanya pada langit biru yang sedang suka sekali diabadikan telepon genggamku.
Niko's Bubbled

Maka teruslah percaya, hatimu masih ada.
Teruslah berdoa, dan Dia akan menunjukkan jalan untuk bertemu segera dengan yang kau pinta.
Sakit memang jika kau menoleh dibelakang, tapi hei, jalanmu sendiri sudah ada!
Untuk apa melihat harapan yang Dia tunjukkan sudah bukan lagi harapan..?

Beruntungnya aku mengenalnya, meski sekejap, dan terpisah lagi.
Beruntungnya aku, pernah merasa mencintainya, walau dia ternyata menganggapku sekejap dari panjangnya jalannya.
Beruntungnya aku, sudah pernah belajar akan sakit, dan menampalnya dengan kebahagiaan yang kucari sendiri.
Beruntungnya aku, dikelilingi oleh orang yang mencintaiku, oleh orang yang menerima diam dan ributku. Juga orang yang terbuka dan tertutup pada kebaikan dan aibku.

Dan, 
Beruntungnya aku, tidak memahami sebenar-benar yang kutulis dari sajak ini.

Sleman, 21 Juli 2014.