Sunset di Barchan Sand Dune,, wah andai aku bisa kesini, dengan dia. |
Ini lucu.
Aku selalu bilang pada diriku
sendiri, atau pada orang-orang lewat blogku, bahwa Jogja adalah kota sejuta
cinta. Kota dimana sesedih apapun aku, pasti ada hal-hal kecil yang
memperbaikinya.
Well, karena makna cinta tidak
sedangkal cerita-cerita roman sih kali ya. Jadi begitulah aku hidup disini.
Ada yang pernah mencoba membaca
mataku, sepanjang jalanku disini, aku tidak akan berniat untuk mencapai impian
hidup nomor sekian itu. Tidak disini, dikota ini.
Dan well, sunrise di Ngasem masih
tetap indah kok seperti beberapa tahun lalu, right Kek? Hehe :)
Wah benar sekali. Disini aku banyak
bertemu dengan orang-orang baru. Banyak tersenyum karena alasan baru. Sekaligus
bersedih oleh kejadian-kejadian menyakitkan yang mengiringinya.
Antara marah, senang, seklaigus
sedih yang teramat sangat kualami dalam satu kurun waktu. Semua kebingungan aku
pikirkan sendiri, namun pertanyaan-pertanyaan tak hentinya aku tanyakan
padaNya. Kenapa aku? Kenapa sekarang?
Aku belajar untuk jatuh cinta. Tepatnya,
mengkoreksi perasaan pada Sang Ksatria Perjalanan. Kulakukan ini semua memang
untuk memperjelas perasaan yang pada akhir-akhir ini sedang kutanyakan..
benarkah?
Masihkah?
Akankah ini usai?
Sejujurnya, kemaren kepala ini sempat sedikit
terbelok pada seseorang diujung jalan.
Seseorang yang tidak pernah aku kira
akan melakukan hal-hal “gila” yang tidak pernah sekalipun aku pikirkan pernah
terlintas dikepala. Seseorang yang sering sekali aku olok-olok dalam hati. Seorang
yang suuperrr aneh, gila, keras, jahat, sekaligus mengagumkan sedang tertawa dan selalu
membuatku tertawa dari sana, ujung jalan yang aku tak tahu akan kemana.
Aku benci sekali dengan
keberadaannya. Sedihnya, aku mulai membencinya saat aku sedang jatuh cinta pada
dia. Sedih sekali bukan?
Sial, lagu itu terus terngiang dikepalaku.
“…sampai kapanpun, waktu bergulir,
….aku dikuatkan karenamu..”
Ini cuma terjadi sebentar dalam
perjalanan hari-hariku, tapi entah kenapa rasanya aku sudah memikirkannya
bertahun-tahun. Terlalu lama waktu berjalan dalam kepalaku. Mimpi-mimpi yang
datang pun malah menunjukkan kekawatiranku akan kehilangan sang Ksatria. Ah,
memuakkan.
Ini lucu.
Aku sedang berusaha
mengindahkannya, oleh karena batasan yang dia buat sudah dia robek sendiri.
Ini
lucu.
Karena aku sedih. Sedih karena dia meninggalkanku, atau tepatnya aku
membuat dia meninggalkanku karena batasan ini sudah terlalu jauh.
Ini lucu.
Karena
dulu mata ini mengaguminya pada kali pertama kita berjumpa, dan ini lucu karena rasa sesal itu tumbuh dari
penolakan rasa oleh mata.
Ini lucu. Masih, lucu.
Ini sungguh-sungguh lucu.
Sore ini Jogja hujan, apakah kau hujan-hujanan? Apa kau sakit?
Ini lucu. Sangat lucu.
Bodoh ya aku? Terlalu cepat dan konyol. Terlalu rapuh dan ... yah, sangat rapuh.
Kok bisa ya?
Bodoh banget aku. Tapi.. Semua terjadi karena alasan. Semua.
Ah mbuh wes!